TEMPO Interaktif, Surabaya - Sebanyak 2.046 tayangan televisi dan radio lokal di Jawa Timur diduga menyalahi Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Sebab 60 persen di antaranya atau 1.227 tayangan mengandung pornografi.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Fajar Arifianto Isnugroho menjelaskan data tersebut berdasarkan hasil pantauan selama Januari hingga September 2011.
Sebanyak 16 personel KPID disebar untuk memelototi serta memonitor isi siaran televisi dan siaran radio lokal didaerah Surabaya, Malang, Jombang, Kediri, Madiun, Bojonegoro, Jember, Banyuwangi, dan Pamekasan.
"Tidak hanya sarat pornografi. Sebab 798 tayangan mengandung unsur kekerasan dan 21 tayangan menyajikan adegan atau mempertontonkan kegiatan yang berkaitan dengan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif," kata Fajar di kantornya, Senin, 19 September 2011.
Selama periode Januari hingga September 2011, KPID Jawa Timur telah mengeluarkan teguran administrasi sebanyak 25 kali. Sebanyak 21 teguran ditujukan kepada pengelola media televisi, dan empat teguran kepada pengelola lembaga penyiaran radio. "Kami terus melakukan pemantauan. Jumlah personel pemantau juga akan kami perkuat sehingga tak akan ada tayangan yang luput dari pantauan," ujar Fajar.
Fajar mengakui proses pemantauan isi siaran televisi ataupun radio lokal Jawa Timur baru diseriusi tahun ini karena sebelumnya KPID hanya fokus pada izin siaran.
Hingga saat ini jumlah pemohon izin radio dan televisi lokal di Jawa Timur mencapai 471 lembaga penyiaran dengan rincian 97 televisi baik televisi analog, swasta lokal berjaringan, swasta digital, berlangganan ataupun komunitas. Sedangkan untuk pemohon izin siar radio berjumlah 252 lembaga penyiaran.
Direktur Utama JTV Imawan Mashuri menyatakan merasa terkejut dengan angka yang dilansir KPID Jawa Timur tersebut. Masalahnya, apakah yang dimaksudkan KPID itu seluruhnya lembaga penyiaran televisi dan radio yang telah berizin resmi.
Imawan tak menampik unsur pornografi ataupun kekerasan mendominasi isi tayangan televisi khususnya. Namun lebih banyak dilakukan televisi yang tidak memiliki izin resmi alias televisi liar. ”Ada tayangan yang dikemas sebagai petunjukan musik dangdut, tapi yang dipertontonkan ya melulu yang berbau pornografi,” ucap Imawan ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo.
Imawan justru ingin penilaian dilakukan secara komprehensif. Sebab rangkaian penyebabnya saling kait-mengkait. Semua jenis media, termasuk televisi dan radio, mengejar rating. Hasil kerja lembaga survei dijadikan patokan untuk menjajikan tayangan apa yang paling disukai pemirsa.
Rating yang berkaitan dengan jumlah pemirsa erat kaitannya dengan upaya para pengelola televisi, radio, ataupun media lainnya dalam mengejar iklan. ”Akibatnya yang jadi patokan semata-mata kuantitas, bukan kualitas isi siarannya,” ujar Himawan pula.
Karena lembaga penyiaran, termasuk media lainnya harus mengejar rating, isi siarannya kerap dituding tidak mendidik. Sajian berita penuh dengan adu domba. Begitu juga sajian hiburan, seperti sinetron penuh dengan intrik. Tayangan infotainment juga setali tiga uang.
Penerapan secara ketat undang-undang penyiaran yang baru akan mampu meminimalkan siaran-siaran yang tidak mendidik. Karena undang-undang tersebut hanya mengenal televisi lokal dan televisi lokal berjaringan, jarak antara pengelola televisi dan pemirsanya menjadi lebih dekat. ”Pemirsa yang tidak suka pada sebuah tayangan bisa langsung mendatangi statsiun televisi untuk menyampaikan protes,” ucap Imawan.
Dalam soal rating, agar tidak bergantung hanya pada hasil lembaga survei tertentu, JTV menggunakan tenaga survei dari Fakultas Komunikasi Universitas Airlangga untuk mendampingi pelaksanaan survei.
Imawan sepakat bahwa jika pengelola media, apa pun jenisnya, hanya terpaku pada pola rating, secara langsung atau tidak langsung, diakui atau tidak diakui, lembaga penyiaran, termasuk institusi pers lainnya, telah menyimpangi prinsip dasar jurnalistik yang sejatinya menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi pemirsa, pembaca, ataupun pendengarnya. Pada saatnya media akan terseret oleh selera rendah pemirsanya.
FATKHURROHMAN TAUFIQ | JALIL HAKIM