TEMPO Interaktif, Bandung -Sungai-sungai panjang itu mengalir keruh. Beberapa bagiannya tersembunyi di tengah kota, terkepung hunian sesak dengan dinding-dinding, pilar batangan kayu, dan bentuk rumah seadanya. Kali Brantas, Cikapundung, atau Ciliwung sepertinya senasib dengan kaum penghuni bantaran sungai. Terpinggirkan, kumuh, juga kotor. Tapi beda cerita di muara atau sungai besar di Banjarmasin, tempat yang membuat orang dengan tenang duduk berperahu.
Air dengan panorama sungai itu menjadi kekuatan tema pameran tunggal Moel Soenarko, 70 tahun, di Galeri Kita, Bandung, yang bertajuk "Water, Watery Landscape, and Other Narratives." Perempuan bernama lengkap Sri Moeljaningsih itu mengerahkan segala kemampuannya, mulai dari lukisan cat minyat, cat air, akrilik, pastel, cukil kayu, dan sketsa. Istimewanya, Moel untuk pertama kali menampilkan karya sulam sketsa. "Saya berpikir sulam juga karya seni karena sketsanya tak mungkin sama di tangan orang lain," katanya, Selasa 21 Juni 2011.
Pameran yang berlangsung 18 Juni hingga 3 Juli 2011 itu menampilkan 56 karya yang dibuatnya sepanjang satu dekade terakhir. Istri Mayor Jenderal (Purnawiran) Soenarko tersebut juga mengusung karya-karya terbarunya selama menetap di Bandung setelah hijrah dari Malang dua tahun lalu. Kurator Aminudin TH Siregar membagi ruang kamar dan lorong galeri dengan alur cerita. Penataannya boleh juga dibilang menyesuaikan babak perjalanan kesenian Moel.
Berhadapan dengan pintu masuk galeri, karya terbarunya tentang suasana bantaran Sungai Cikapundung, Bandung, dipasang sebagai penyambut. Di lorong dan kamar galeri di lantai satu, pengunjung diajak mengenal kiprah perempuan kelahiran Banjarmasin pada 29 Maret 1941 tersebut di dunia seni. Menurut seniman otodidak itu, ia mulai melukis sejak 1998 karena tertarik oleh garis dan pola saat menekuni hobi menjahitnya sejak SMA. "Semula melukis cat minyak, lalu pastel, pas di Bandung baru dengan cat air," katanya. Salah satu gurunya adalah pelukis realis Sambodja.
Tema air dipilihnya berdasarkan kenangan masa kecil saat tinggal di Banjarmasin. Moel mengaku terenyuh melihat hunian kawannya yang asli suku Dayak di atas rawa. Ingatan yang membekas itu kerap terbawa ketika berhadapan dengan kanvas. Moel yang dikenal sebagai pelukis realis-humanis itu banyak mengambil sudut-sudut bantaran sungai di berbagai kota, pelabuhan, serta muara sungai. Kadang ia membidik suasana basah itu dengan mata burung agar sesaknya daratan di sekitar sungai terhampar. "Air juga menjadi filosofi hidup saya, mengalir saja nggak usah dilawan," ujarnya.
Alih-alih sedih, Moel mengangkat kesulitan hidup penghuni bantaran sungai dengan hati senang. "Sebab manusia itu sama, mereka senang tinggal di rumah itu walau kondisinya tidak layak," katanya. Jarinya pun tak canggung menorehkan tirai, teralis, dan bunga di pot pada lukisan panorama sungainya.. Walau sempat ada yang protes karena tirai dan teralis dianggap sebagai simbol keluarga mapan, Moel bergeming. Ia menolak anggapan itu. "Bagi mereka, rumahku ya istanaku," katanya.
Dari pemandangan sungai yang umumnya bernuansa pastel, Moel sempat menuangkan amarahnya dengan warna-warna keras dan kontras. Pada lukisan berjudul "Sisi Kumuh di Pulau Batam", "Jalan Lurus yang Terjal", juga "Kampung Nelayan Kepulauan Bangka Belitung", ia menyapu air dan langit dengan warna biru atau hijau, bersanding dengan warna jingga cahaya matahari. "Kenapa sudah ada teknologi dan mesin, tapi nelayan kita masih hidup miskin," ujarnya.
Di lantai dua, terpampang belasan karya di masa percobaannya berupa lukisan simbol, cukil kayu, sketsa, dan lukisan langsung tanpa sketsa kapur. Di ruangan ujung, terpasang belasan karya sulam tangan Moel. Satu yang menonjol, berjudul "Jabal Rahmah". Sulaman buatan 2011 itu bersanding dengan sketsanya yang digambar sejak 2008. Karya berukuran 18,5 x 25 sentimeter itu menggambarkan suasana di bukit tempat pertemuan Adam dan Hawa di Padang Arafah, Arab Saudi.
Benang sulamnya memakai warna cerah. Moel sampai harus menumpuk benangnya tiga lapis agar gradasi warna tercipta. Cara itu juga dipakainya untuk memunculkan kedalaman gambar atau agar terkesan sebagai tiga dimensi. Pembuatannya cukup menguras waktu dan tenaga. Menurut kurator Aminudin TH Siregar dalam catatannya di buku katalog, Moel mengikuti pokok-pokok prinsip melukis seperti yang diajarkan Sambodja. Salah satunya pada penekanan aspek psikologis yang menuntut penghayatan pelukis terhadap kenyataan yang dilihatnya untuk memunculkan suasana.
Di Bandung, Moel sementara waktu meninggalkan tema gedung-gedung bersejarah yang kerap digarapnya di Malang. Ia mengaku lebih antusias untuk mencari sungai-sungai, juga meneruskan karya-karya sulam tangannya tentang bukit-bukit bersejarah di jazirah Arab. "Semoga tangan saya masih kuat," katanya.
ANWAR SISWADI