TEMPO Interaktif, Purbalingga – Achmad Markus, 70 tahun, nampak larut dalam pekerjaannya. Sambil bertelanjang dada, dia duduk manis di bengkelnya. Di tangannya, sebuah gong besar sedang diutak-atik, lalu didengarkan nadanya. Siang itu, Markus sedang melakukan pekerjaannya, nglaras gamelan. “Saya hanya menggunakan insting saja,” ujar Markus, penglaras gamelan dari Dusun Pesayangan, Desa Purbalingga, Lor Purbalingga, Jumat 27 Mei 2011.
Markus adalah satu dari sedikit penglaras gamelan yang tersisa. Selain dia, ada seorang penglaras lain bernama Samingun, 70 tahun. Baik Markus maupun Samingun, sudah belajar nglaras gamelan sejak republik ini masih berusia belia.
Dusun Pesayangan, kata Markus, dulunya dikenal sebagai sentra pembuat gamelan. Hampir setiap beranda rumah penduduk, terdapat bengkel pembuatan gamelan. Tang…tung…tang…tung…begitu bunyi yang cukup akrab jika memasuki dusun itu. “Kini hanya tinggal tujuh perajin di sini,” katanya.
Pada 1960, kata dia, banyak pemesan gamelan dari luar kota datang ke dusun ini untuk memesan gamelan. Banyak pejabat penggila alat musik khas Jawa ini khusus datang ke dusun ini hanya untk membeli seperangkat alat gamelan lengkap. Dalang-dalang kondang juga sering datang ke dusun itu untuk membeli atau sekedar memperbaiki gamelannya.
Samingun mengaku tidak semua orang bisa bekerja sebagai penglaras gamelan. Dibutuhkan keteguhan hati serta kesabaran untuk bisa memahami karakter gamelan. “Penglaras harus memandang gamelan sebagai seorang istri. Kami harus memahami perasaannya,” kata dia. Sebagai seorang penglaras, Samingun dan Markus mendapat bayaran Rp 50 ribu. Ia sudah merasa cukup untuk bisa menghidupi keluarganya.
Nanang Ajib, 29 tahun, pengusaha gamelan di dusun itu mengatakan, pihaknya saat ini sedang mencoba menarik anak-anak muda untuk kembali menjadi perajin gamelan. “Terutama untuk pekerjaan penglaras gamelan. Jangan sampai punah agar kelanjutan kerajinan ini bisa terus ada,” katanya.
Nanang mengatakan, selama ini gamelan Pesayangan dijual ke Jogjakarta dan Bali. Masing-masing instrumen berbeda harganya, tergantung dari bahan baku dan besar kecilnya gamelan. Untuk satu set gamelan dari bahan tembaga biasa, ia menjualnya Rp 25 juta. Set ini berisi alat gamelan lengkap, yakni gong, boning, kempul, saron, dan lainnya. Sementara untuk satu set gamelan berbahan dasar kuningan, ia menjualnya Rp 150-175 juta.
Dalam setahun, kata dia, minimal ada empat kali pesanan datang untuk satu set gamelan. Setiap set, imbuhnya, bisa dikerjakan dalam waktu tiga bulan. Ia berharap pemerintah daerah mampu membangkitkan kembali usaha ini. Nanang mengatakan ia ngeri ketika suatu saat kerajinan ini diambil alih oleh bangsa lain. “Jika anak muda sudah tak mengenal gamelan, jangan salahkan kalau gamelan diklaim menjadi milik Malaysia,” ujarnya berapi-api.
ARIS ANDRIANTO