TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketika semua orang meributkan pembangunan gedung baru DPR, sudahkan kita tahu siapa arsitek gedung yang lama? Dia lah arsitek Soejoedi yang buku karya arsitekturnya baru diluncurkan, 28 April 2011 lalu. Buku berjudul Membuka Selubung Cakrawala Arsitek Soejoedi ini ditulis oleh arsitek senior Budi A. Sukada. "Dia itu pendiam, tidak suka bicara, tapi karyanya hebat-hebat," kata Budi A. Sukada. Menurut Budi, Soejoedi juga tidak pernah mengumpulkan karya atau sketsa dan jarang menulis sehingga diperlukan satu cara untuk mengenalnya.
Tidak banyak orang yang tahu sosok bernama lengkap Soejoedi Wirjoatmodjo. Namun, bagi dunia arsitektur Indonesia, Soejoedi adalah sosok penting di balik pembangunan sejumlah proyek penting dan perancangan tata kota di Indonesia. Karya-karyanya yang monumental, di antaranya Kompleks MPR/DPR dan Gedung Sekretariat ASEAN.
Budi menuturkan dalam menyusun buku tersebut dia menggunakan metode dalam menganalisis sebuah karya arsitektur dengan melihat inti konsepnya. Dari situ dia mengetahui bahwa sifat desain Soejoedi selalu menyempurnakan dirinya sendiri (perfection). Hasilnya, arsitek Soejoedi dalam buku ini tampil sangat obyektif. Keobyektifan ini rupanya mengundang kritik dari arsitek senior lain lantaran buku itu hanya menganalisis karya-karya Soejoedi. Sosok personal Soejoedi sama sekali tidak diceritakan. "Bagai tulang belulang, tidak ada dagingnya," ujar Yuswaldi Saliya, arsitek senior dari ITB.
Hal serupa dikemukakan oleh pembicara Slamet Wirosanjaya. Ia menganjurkan agar sisi pribadi Soejoedi juga diungkapkan, jangan cuma karyanya. Kedua begawan arsitek ini punya kenangan bersama dengan Soejoedi sebelum wafat di tahun 1981.
Beberapa kawan dekat Soejoedi menilai buku ini bisa menjadi bagian dari sejarah nasional Indonesia. Buku setebal 235 halaman ini diterbitkan oleh konsultan Gubah Laras di mana Soejoedi menjadi salah satu pendirinya. Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi kalangan arsitek dan masyarakat umum.
NUNUY NURHAYATI