Makanya, Iim menambahkan, sebelum naik pesawat harus makan dulu sekenyangnya. Dan, begitu turun di bandara berikutnya, ia segera makan lagi karena sudah kelaparan. Rute yang ditempuh, dari Jakarta ke Biak, Papua. Setelah menginap semalam, Hercules terbang lagi ke Guam. Lalu, rombongan misi kesenian terbang ke Honolulu, Hawaii, dan terakhir mendarat di New York.
Menurut Iim, sepanjang perjalanan dari Jakarta ke New York dengan pesawat jenis Hercules itu banyak suka-dukanya. Saat akan terbang dari Guam ke Honolulu, misalnya, pesawat angkutan militer itu mengalami gangguan. “Beberapa kali mencoba terbang, tapi pesawat enggak naik-naik. Akhirnya penerbangan dibatalkan,” ujarnya. “Dan kami terpaksa menginap tiga malam di Guam, menunggu Hercules diperbaiki.”
Sepenggal kisah Iim Junaedi itu dituturkan dalam film dokumenter Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mancanegara, 1952-1965, yang diputar di Serambi Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis siang pekan lalu. Dokumenter arahan sutradara asal Australia, Jennifer Lindsay, itu memotret kisah lika-liku misi kesenian Indonesia ke mancanegara pada era Presiden Soekarno.
Film dokumenter berdurasi 90 menit dalam bahasa Indonesia itu menyuguhkan wawancara dengan 30 seniman, sebagian besar seniman pertunjukan, yang menuturkan pengalaman mereka melawat ke mancanegara--baik selaku pribadi, utusan pemerintahan Bung Karno, atau dikirim oleh lembaga kebudayaan nonpemerintah. Dokumenter itu juga dilengkapi serangkaian foto koleksi pribadi dan bahan dari pelbagai koran serta majalah.
Dalam penggarapannya, Lindsay tak sendirian. Sang sutradara, yang juga periset sejarah, dibantu tiga seniman yang saat itu ikut dalam rombongan misi kesenian Indonesia. Mereka adalah Bulantrisna Djelantik, Irawati Durban Ardjo, dan Menul Robi Sularto. Ketiganya membantu Lindsay meriset bahan dan memawawancarai para seniman.
Hasilnya adalah sebuah dokumenter yang sangat menarik. Lewat dokumenter Menggelar Indonesia, banyak hal menarik dari pengalaman para seniman yang melawat ke mancanegara, yang boleh jadi tak banyak diketahui sebelumnya. Misalnya, tentang suka-duka naik peswat Hercules seperti dituturkan Iim di atas.
Atau, pengalaman seniman tari Bulantrisna Djelantik saat pertama kali ikut dalam misi kesenian. Menurut dia, sebelum berangkat, semua peserta yang berasal dari berbagai daerah di Tanah Air--seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, dan Sumatera – dikumpulkan di Jakarta. Mereka ditempatkan di sebuah mes selama tiga bulan. “Selain berlatih kesenian, kami diajari tata cara makan dengan sendok-garpu,” kata Bulantrisna. “Selama tiga bulan itu, kami seperti dalam training centre.”
Seniman Pringgohadiwiyono punya pengalaman yang sangat membekas ketika dikumpulkan di Jakarta. Menurut dia, sebelum berangkat, mereka sempat menggelar latihan di halaman belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur. “Bung Karno juga sering memberi masukan ketika kami latihan,” ujarnya.
Peran Bung Karno, seperti dituturkan para seniman dalam dokumenter itu, memang sangat besar. Selain kerap memberi masukan dalam latihan, Presiden Soekarno sendiri yang menyeleksi para seniman yang masuk rombongan kesenian. Yang menarik, anggota misi kesenian itu benar-benar datang dari pelbagai daerah di Indonesia. “Dulu, misi kesenian itu benar-benar dikirim dari berbagai daerah, dan bukan hanya dari Jakarta,” kata Indrawati Lukman, salah seorang peserta misi kesenian waktu itu.
Menurut Indrawati, konsep Bung Karno itu justru membuat jalinan tali silaturahmi antara sesama seniman dari pelbagai daerah menjadi lebih erat. Hal senada dituturkan Menul Sularto, penari yang saat itu ikut rombongan misi kesenian. “Saat karantina di Jakarta, saya yang biasa menari Jawa jadi belajar tari Sumatera. Ternyata energetik dan menyenangkan,” ujar Menul.
Tak hanya saat karantina di Jakarta, sejumlah anggota misi kesenian juga menemui pengalaman yang menggetarkan ketika tampil di luar negeri. Simak pengalaman IGA Raka Astuti saat menari di depan Ratu Juliana di Belanda. Kala itu, ia membawakan tari Oleg dari Bali. Menurut Astuti, ada gerakan dalam tarian itu yang badannya harus miring ke kiri dan kanan. “Saat saya miring ke kiri, sang ratu kepalanya ikut miring ke kiri. Saat ke kanan, beliau juga ikut miring ke kanan,” katanya. “Saya mau ketawa tapi enggak enak, karena lagi menari.”
Begitulah. Serangkaian suka-duka mewarnai pengalaman para seniman yang ikut dalam misi kesenian Indonesia ke mancanegara, antara lain Pakistan, Cina, Korea Utara, Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat. Sayangnya, dokumenter itu hanya dilengkapi foto dan potongan artikel di sejumlah koran serta majalah. Dokumenter tersebut tak diperkaya dengan bukti video atau film pada era itu. “Saat itu video atau film masih langka. Jadi sangat susah di telusuri,” ujar Lindsay.
Setelah di Serambi Salihara, Jakarta, film dokumenter Menggelar Indonesia kemudian diputar di Gedung Indonesia Menggugat di Bandung, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu. Setelah itu, di Yogyakarta kemarin dan di Solo hari ini. Terakhir, film dokumenter itu diputar di Bentara Budaya Bali pada 19 Agustus mendatang.
AGUSLIA HIDAYAH