Ia adalah satu dari 20 orang peserta yang menjalani program tiga pekan “Çudamani Summer Institute 2010”. Ini adalah program studi intensif tari dan gamelan Bali bertaraf internasional yang dilangsungkan di Pengosekan, Ubud. “Sangat bermanfaat bagi saya yang menekuni etnomusikologi,” ujar Fishbane kepada Tempo Ahad siang kemarin.
Para peserta sebagian besar berasal luar negeri, seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Norwegia. Ada juga yang berasal dari Jakarta dan Bali. Mereka tidak hanya menjalani jadwal latihan tari dan gamelan harian yang padat hingga 6 - 8 jam per hari, tapi juga diskusi, kuliah, dan demonstrasi oleh tim pengajar, serta pengamatan langsung berbagai pementasan dan upacara keagamaan. Interaksi harian dengan komunitas seni Desa Pengosekan juga menjadi bagian dari kurikulum. Mereka bahkan diberi kesempatan untuk menampilkan tarian di Pura yang sedang melakukan upacara.
Formula unik ini dikelola dengan tujuan menghadirkan sebuah pengalaman yang utuh dan otentik dalam upaya memahami keterikatan antara seni, spiritualitas, dan komunitas dalam budaya Bali. Pengajarnya bukan hanya didukung oleh tim penari dan musisi piawai Çudamani, tapi juga oleh jajaran maestro tari dan gamelan Bali bertaraf internasional, seperti Ni Ketut Arini, I Nyoman Cerita, I Made Arnawa, dan I Dewa Putu Berata.
Direktur Cundamani Emiko Saraswati Susilo mengatakan, program tahunan ini sudah dilakukan empat kali dan selalu mendapat sambutan hangat. Peserta dari luar rata-rata telah mengenal Cundamani dari pementasan yang sudah berkali-kali dilakukan sanggar ini di luar negeri. “Jadi mereka bukan turis biasa tetapi benar-benar orang yang berminat untuk belajar menari dan memahamai budaya Bali,” ujar wanita keturunan Jepang yang menikah dengan warga Bali ini. Meskipun cukup singkat, dia menjamin peserta sudah akan dapat menguasai dasar-dasar gamelan dan tari Bali.
Untuk mengikuti program ini, biayanya terhitung masih mahal. Yakni, sebesar US$ 1.950 atau sekitar Rp 10 juta untuk warga negara asing .Sedangkan untuk warga Indonesia, Emiko mengaku masih terus melakukan penghitungan ulang. “Kami berharap akan makin banyak ornag Indonesia yang berpartisipasi agar terjadi dialog kebudayaan di sini,” kata Emiko, yang sudah tinggal di Bali sejak 1996 itu.
ROFIQI HASAN