Dialog Din dengan para pemain lain selalu disela Marwoto, Tarsan, dan Den Baguse Ngarso. Saat ia mengeluh kecapaian karena Muktamar Muhammadiyah, justru Marwoyo menyela, Din capai karena jualan madu Sumbawa. Sebab, Din berasal dari daerah itu. Saat Din sudah sering berdakwah dan berkunjung ke daerah daerah pelosok, justru Marwoto menyela, bahwa Din seorang kernet angkot karena hafal daerah daerah yang jauh.
Dasar ketoprak bergaya humor, semua adegan dan dialog mengandung kelucuan. Tak pelak, gelak tawa seribuan penonton yang mayoritas anggota Muhammadiyah tak bisa tertahankan. Para penonton pun juga terheran, ternyata Din yang terkesan serius ternyata mempunyai selera humor yang tinggi.
Namun Din yang cerdas itu selalu bisa menimpali dialog canda para pemain ketoprak itu. Ia selalu membawa pesan dakwah dalam dialog, selalu mengayomi warga yang bertikai dalam suasana sejuk. Tutur kata Din yang memerankan Ki Pamungkas bisa diterima oleh warga yang sedang bertikai.
“Ketoprak bisa menjadi wahana dakwah melalui jalur kultural,” kata Din.
Tarsan yang menjadi asisten Ki Pamungkas pun selalu belajar agama darinya. Namun cara belajarnya pun dengan bercanda dengan plesetan, namun tidak melecehkan.
Para pemain pendukung pun tak sebatas seniman ketoprak, tetapi ada Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang berperan sebagai orang yang sering bersih-bersih. Ada juga Arif Nur Hartanto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan pejabat lainnya.
Kisah cerita diawali oleh lakon antagonis Den Baguse Ngarso yang menjadi Surotejo, seorang kaya tetapi sombong dan selalu menentang dakwah. Bagus Radite sebagai agamawan yang sering mengajarkan warga nengan amar makruf nahi munkar selalu ditentang. Ki Pamungkas sebagai seorang alaim dan saudara Radite lah yang bisa merangkul perselisihan antara mereka dan warga yang masih kolot dan menentang perubahan yang dilakukan Radite. Ki Pamungkas pun sering mengulas ayat-ayat Al Quran untuk selalu dijadikan patokan hidup.
Ki Pamungkas juga menerangkan soal bagaimana menghadapi hidup. Ia berpesan seperti wejangan Kiai Haji Imam Zarkasyi, kiai Din Sayamsuddin waktu menjadi santri di Gontor, Ponorogo. “Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja”.
Pletheking Suryodadari atau merekanya sang surya itu terinspirasi semangat Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dalam mendidik murid-muridnya, yaitu semangat cinta kasih, tolong menolong, dan memberi orang tidak mampu.
Sang sutradara Nano Asmorodono pun merasa senang karena Din mau bermain ketoprak dengan para seniman. Apalagi Din justru minta diajak main ketoprak lagi.
“Ini merupakan apresiasi seni dari seorang tokoh yang bisa merangkul seni tradisional, apalagi bisa untuk dakwah,” kata Nano
MUH SYAIFULLAH