Banyak hal yang bikin was-was pria kelahiran Yogyakarta itu, dari soal mengurusi 3.000 orang penari lebih dalam acara tersebut, sampai soal tak boleh pakai keris.
“Awalnya saya panik, tapi tetap senang,” katanya sumringah kepada Tempo.
Dalam acara tersebut, alumnus master koreografi dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat itu mengambil tema kemerdekaan, kreativitas, dan kemandirian. Sebagai inspirasi pawai, pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu mengambil ide dari upacara Bekakak, yang diselenggarakan setiap tahun di desanya, Gamping, Yogyakarta. “Saya kan orang desa, maka idenya pun dari desa.”
Agar pawai meriah, Miroto akan menampilkan panel-panel raksasa setinggi 5-6 meter dalam bentuk Garuda, Bima, dan tokoh wayang golek. “Panel raksasa menjadi ciri khas tradisi pawai Indonesia, macam ogoh-ogoh di Bali dan gendruwo di Gamping,” ujar ayah dua anak ini.
Persiapan sudah berlangsung empat bulan. Miroto sempat khawatir pawai gagal akibat ancaman bom. Ternyata jalan terus, dengan pengamanan lebih ketat. Para seniman dilarang membawa senjata khas daerah masing-masing seperti keris atau tombak. “Padahal ini kan kesenian, tapi bagaimana lagi,” tuturnya.
***-/**