TEMPO Interaktif, Jakarta: Poster-poster pemilu itu terpampang di titik-titik strategis di Yogyakarta, dari daerah Bugisan hingga Bantul. Poster itu bisa membuat meringis siapa saja yang melihatnya. Wakil-wakil rakyat diparodikan dan diolok-olok sedemikian rupa. Poster itu mengingatkan masyarakat akan kenyataan politik di negeri kita. Para wakil rakyat banyak korupsi dan hanya tebar janji.
Gambar pada poster itu demikian khas. Teknik grafisnya dengan cara mencukil kayu. Bagi mereka, yang biasa melihat karya-karya seni rupa, tanpa banyak cingcong akan segera tahu kelompok apa yang berada di balik penyebaran poster itu. Itulah kelompok Taring Padi.
Nama Taring Padi lama tak muncul. Nama ini pernah melambung seiring dengan makin menguatnya gerakan reformasi tahun 1997 melalui karya-karya pamflet politiknya. Ketika para seniman lukis lain belakangan ini menikmati pameran-pameran tunggal di galeri dan meraup banyak uang dari boom lukisan, kelompok ini tetap memilih jalur turun ke kaum pinggiran, untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat grass root.
Menghadapi Pemilu 2009, mereka kembali unjuk gigi. Kehadiran mereka terasa pas dan tepat. Poster-poster yang mereka tempel itu tetap dengan gaya galak. Poster-poster Taring Padi terkenal tanpa tedeng aling-aling. Parodinya kadang kasar, menggambarkan pertentangan kelas dengan cara hitam-putih, misalnya, kapitalis versus buruh, orang kaya versus orang melarat, dan cukong-cukong versus petani. Kalimat-kalimat sering berupa jargon-jargon anti-imperialis. Seluruh poster Taring Padi dikerjakan secara kolektif--tidak atas nama individual.
Lihatlah salah satu karya yang ditempel di dinding Yogyakarta hari ini: sesosok lelaki sedang duduk di kursi dengan belasan tangan memegang barang-barang mewah. Pada bagian atas dan bawah lelaki itu tertulis sederet kalimat: "Posisi Bukan Kesempatan untuk Korupsi".
Karya lainnya menampilkan sepotong tangan dengan jari telunjuk mengacung. Potongan tangan itu dilengkapi dengan sederet kata: "Memilih atau Tidak Adalah Pilihan". Karya ini terkesan lebih garang.
Ada juga karya bergaya komik, yang berjudul Sama Janji, Sama Bukti. Karya ini menampilkan potongan adegan kampanye seorang calon legislator bernama Drs Narsis dari Partai Carmuk. Calon legislator yang punya jargon "Berkorban untuk Rakyat" ini gemar mengobral janji. Sudah bisa diduga, sang calon legislator akhirnya ingkar janji.
Poster-poster pemilu hasil Taring Padi ini ditempel di sembilan titik strategis di Kota Yogyakarta. Poster dilem di tembok-tembok, bertindihan dengan gambar-gambar mural. "Ada 22 tema poster yang kami produksi," ujar Fitriani Dwi Kurniasih, salah seorang anggota kelompok Taring Padi. Semua berukuran 61 x 41 sentimeter dan dicetak di atas kertas Samson. "Setiap satu tema dicetak sebanyak 25 eksemplar," Fitri menjelaskan.
Butuh proses panjang sebelum poster-poster itu terpampang di tembok-tembok ruang publik Kota Yogyakarta. Anggota Taring Padi harus menggelar diskusi sebelum menentukan tema dan kemudian mempresentasikannya. Diskusi dan presentasi berlangsung di markas Taring Padi di Dusun Sembungan, RT 02, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, awal Februari 2009.
Rapat akhirnya menyetujui 22 tema karya 25 anggota Taring Padi dan kemudian pada awal Maret 2009 mulai dicetak. "Pemasangan poster-poster di ruang publik dilakukan serentak di sembilan titik, sekitar dua pekan lalu," tutur Sudandyo Widyo Aprilianto, anggota Taring Padi lainnya.
Menurut Lilik, panggilan sehari-hari Aprilianto, poster-poster pemilu produksi Taring Padi ini ternyata tidak hanya dipajang di Kota Yogyakarta, melainkan juga merambah ke Jakarta, Blora, dan beberapa kota lainnya.
"Kami banyak mengobrol dengan masyarakat. Mereka butuh pendidikan untuk mengawasi pemilu," ujar Lilik. Di beberapa poster selalu ada petuah untuk rakyat. Dalam poster yang bercerita tentang Drs Narsis yang tengik itu, misalnya, ada gambar seorang laki-laki yang berkata, "Makanya, rakyat harus terus mengawasi! Pastikan janji mereka selalu ditepati. Jalankan fungsi kontrol kita!"
HERU CN