TEMPO Interaktif, Jakarta: Di tengah-tengah mayoritas sastrawan lelaki di ajang Jakarta Internasional Literary Festival (Jilfest), menyembul seraut wajah perempuan asing. Sabtu malam lalu itu, di Museum Sejarah, Jakarta Utara, ia satu-satunya pembaca puisi yang bule.
http://image.tempointeraktif.com/?id=5001Dialah Maria Emilia Irmler. Bahasa Indonesianya lumayan fasih. Penyair perempuan kelahiran Lisabon, Portugal, itu ternyata memang tak asing dengan kehidupan Jakarta. Dia sudah empat tahun tinggal di Ibu Kota. Maka panitia Jilfest pun tak perlu repot membayari tiket pulang-pergi ke daratan Eropa.
Maria, 55 tahun, mengaku sebagai penikmat puisi. Dia betah menyaksikan berbagai penampilan para penyair dan sastrawan Indonesia membacakan puisi mereka. "Sangat emosional, dibandingkan dengan acara yang sama di Portugal," ujarnya kepada Tempo yang menemuinya di sela Jilfest.
Meski ada pembaca puisi yang tergolong tak lagi muda, kata Maria, mereka sangat menghayati penampilan. Tak takut terlihat konyol, "Tampil seperti dalam drama. Sangat komikal dan ekspresif."
Dunia bahasa dan literatur memang membawanya dari Lisabon pindah ke Jakarta. Ia sehari-hari mengajar bahasa Portugis di Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia. Juga di program bahasa di Kedutaan Besar Portugal di Jakarta.
Lebih dari itu, Maria memang jatuh cinta dengan nuansa mistik sisa-sisa kultur nenek moyangnya di Asia. Maka ia menolak disebut sekadar sebagai turis.
Sebagai akademisi, Maria telah menulis Antologia de Poeticas, buku antologi 118 puisi Portugis, Malaysia, dan Indonesia. Ada 50 puisi Portugis, 52 Indonesia, dan 16 puisi Malaysia dalam buku yang ditulis bersama Danny Setiawan, koleganya yang fasih berbahasa Portugis. "Ini seleksi puisi terbaik yang saya ambil sejak abad ke-13," ungkap Maria dengan bersemangat.
Maria punya sejumlah sastrawan favorit. Mereka adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bahri, dan Abdul Hadi W.M. Nama terakhir disukai karena menurutnya, "Ia mistik, sufistik."
Sebenarnya, dia menulis beberapa puisi karyanya sendiri, tapi tak dimasukkan ke dalam bukunya. Maria, yang kerap membaca puisi di berbagai acara sastra, masih merasa karya-karyanya biasa saja. Diam-diam, ia rupanya menyimpan karya cerpennya yang berbahasa Portugis.
Selain mengajar di kampus UI, Depok, dan Kedutaan Besar Portugal, Maria aktif mengajar bahasa Portugis di komunitas Tugu, Jakarta Utara. Disokong kedutaan besarnya,bersama sejumlah pengajar, dia mengajari para keturunan bangsanya akar budaya dan bahasa mereka.
Selama di Ibu Kota, Maria pernah tinggal di sebuah apartemen di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Tapi kemacetan mendorongnya memilih pindah ke kawasan Depok. "Lebih dekat ke kampus," tuturnya.
Soal kemacetan memang lumayan membuatnya frustrasi. Semuanya, kata dia, menjadi terasa jauh. Waktu pun habis di jalan. Maka Maria selalu tak tahu bila ditanya ingin tinggal berapa lama di Depok.
Tumbuh dengan kultur Barat yang rasional, Maria ternyata pernah mengalami hal irasional. Peristiwa itu membekas di benaknya. Beberapa waktu silam, pada sebuah siang, dia mengantar tamunya asal Portugal menengok bekas gedung Balai Kota di kompleks Taman Fatahillah, Jakarta Pusat.
Di lantai dua, mereka berfoto-foto di depan sebuah lukisan. Saat dilihat di kamera digital, eh, tampaklah sesosok tinggi besar berdiri di belakang tamunya, di depan lukisan. "Memakai pakaian zaman dulu," kata Maria serius. Foto itu pun langsung dihapus.
IBNU RUSYDI
Boks
Nama: Maria Emilia Irmler
Tempat, tanggal lahir: Lisabon, Portugal, 4 Oktober 1953
Buku:Antologia de Poeticas (antologi 118 puisi Portugis, Malaysia, dan Indonesia, yang disusun bersama Danny Setiawan)
Pendidikan:
- Sarjana, Dra (Doutora) bidang sastraPekerjaan:
- Atase Bahasa Kedutaan Besar Portugal di Jakarta
- Mengajar di Departemen Susastra Fakultas Ilmu Bahasa, Universitas Indonesia, Depok.