TEMPO.CO, Jakarta -Penyair Sapardi Djoko Damono kembali meluncurkan buku terbaru bertajuk Manuskrip Sajak. Buku ini berisi sekitar 200 kumpulan manuskrip puisinya periode 1958 hingga 1970-an.
Sebelum mengenal mesin tik dan komputer, Sapardi Djoko Damono mengandalkan buku tulis bergaris sebagai tempat menuangkan ide menjadi sajak-sajak yang nantinya dikirimkan ke media massa atau dibukukan.
baca: Ingin Bisa Menulis? Simak Pengalaman Sapardi Djoko Damono
Biasanya manuskrip berujung di tempat sampah, apalagi yang sudah berusia puluhan tahun. Tapi Sapardi Djoko Damono secara tak sengaja terus menyimpannya.
"Ini kan sebenarnya sampah, tapi beliau (Indah) susun jadi buku yang sangat indah," seloroh Sapardi dalam peluncuran, Manuskrip Sajak, di Indonesia International Book Fair 2017, Kamis 7 September 2017.
Rupanya manuskrip itu bercampur dengan koleksi bukunya. Koleksi-koleksi ini selalu jadi prioritas setiap kali berpindah tempat tinggal. Maka manuskrip itu tidak tercecer meski rumahnya berpindah dari satu kota ke kota lain, mulai dari Solo, Madiun, Semarang hingga Jakarta.
Manuskrip itu terabaikan hingga akhirnya diabadikan dalam buku Manuskrip Sajak yang disusun desainer grafis, Indah Tjahjawulan. Sebelumnya, kumpulan manuskrip tersebut sempat dipamerkan di Makassar International Writers Festival Mei lalu.
Setelah diwujudkan dalam bentuk buku, Sapardi jadi lebih apik dalam menyimpan manuskrip-manuskrip yang jadi harta karun bagi para pencinta karyanya. "Setelah tahu begini ya saya simpan, nanti dicuri orang. Kalau mau beli boleh, Rp10 miliar," seloroh dia.
Sapardi mengenang masa-masa ketika ia masih rajin menulis sajak di buku bergaris. Saat akan dikirimkan ke penerbit, barulah dia pergi ke kantor ayahnya untuk meminjam mesin tik, kemudian mengirim hasil ketikan ke penerbit atau majalan.
Seiring perkembangan teknologi, tulisan tangannya yang khas miring ke arah kiri itu mulai diganti dengan ketikan di keyboard komputer.
Tidak ada lagi jejak-jejak manuskrip yang memperlihatkan perkembangan pola pikirnya sebagai penyair dari masa ke masa.
Namun, ketika ditanya mana yang dia pilih antara menulis tangan, mesin tik dan komputer, Sapardi Djoko Damono menjawab dengan tegas dan singkat. "Komputer!" ucapnya yang langsung menuai tawa dari para hadirin di di Indonesia International Book Fair 2017.
ANTARA