Direktur DFF Agung Bawantara menjelaskan dari 112 film yang masuk, ada 10 film unggulan yang telah lolos seleksi kurasi. “Ada lima kategori umum dan lima kategori pelajar," katanya seusai pembukaan di Gedung Merdeka, Denpasar, Selasa, 5 September 2017.
DFF tetap mengacu pada tema besar kampanye krisis air. Saat ini, DFF mengambil segmen keseluruhan bertema Air, Perempuan, dan Anak-anak. Dari kategori umum, DFF menerima karya dari seluruh Indonesia. Tahun ini karya pelajar yang sebelumnya hanya dari Bali saja, kini juga terbuka dari seluruh Indonesia.
Bagi Agung Bawantara karya dari kategori pelajar terus meningkat, terutama kualitas dari sisi tema dan pendalaman. “Kami segera membuka ruang kompetisi lebih menantang. Semakin banyak sineas bagus yang mempercayakan karyanya di DFF,” tuturnya.
Adapun Dewan Kurator DFF 2017, yaitu Putu Kusuma Widjaja, Tonny Trimarsanto, dan Gerzon Ron Ayawaila. Sedangkan Dewan Juri, yaitu Slamet Rahardjo, Panji Wibowo, Rio Helmi, I Made Bandem, dan I Wayan Juniarta.
Pemutaran dan diskusi film dokumenter Digdaya Ing Bebaya dalam pembukaan DFF diikuti puluhan penonton yang dominan dari kalangan pelajar tingkat SMA. “Saya memotret ketangguhan bukan orang muda,” kata BW Purba Negara saat diskusi film karyanya.
Film dokumenter Digdaya Ing Bebaya menyuguhkan gambaran penduduk Glagaharjo yang menolak relokasi pascaerupsi Gunung Merapi pada 2010. Film itu mengambil kisah tiga orang perempuan lanjut usia yang tangguh naik-turun bukit untuk mendapatkan regedek atau tanaman pegagan sebagai bahan jamu.
“Mereka mencintai tanahnya yang tidak bisa dipisahkan untuk hidup dari alam. Mereka di zona merah tapi dengan segala konsekuensi tetap tinggal di sana,” ucapnya.
Film dokumenter Digdaya Ing Bebaya memenangi Silver Award pada Vidsee Juree Awards 2016 Institut Francais d'Indonesie di Jakarta.
BRAM SETIAWAN