TEMPO.CO, Jakarta - Menyambut abad milenum pada 1998, Mira Lesmana dan Riri Riza mewajibkan 13 sutradara termasuk Jay Subiyakto untuk membuat film. Namun, hingga 2016, tak ada satu film pun yang dihasilkan oleh sutradara berambut gondrong tersebut.
"Dari 13 itu yang belum bikin film ada tiga, termasuk saya. Kalau saya sih memang enggak laku dan enggak ada yang nawarin. Mau bikin sendiri, enggak bisa," canda Jay Subiyakto saat ditemui usai press screening Banda the Dark Forgotten Trail di XXI Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Juli 2017.Jay Subiyakto. Tempo/Yosep Arkian
Namun pada 2016, Sheila Timothy, produser Lifelike Pictures menawari Jay Bubiyakto untuk menyutradari sebuah film dokumenter tentang sejarah Kepulauan Banda. "Disitu justru saya jadi takut juga. Tapi, saya pikir siapa lagi yang mau nawarin? Hampir tidak ada atau sangat sedikit film dokumenter yang bisa masuk bioskop."
Saat menerima tawaran tersebut, pria kelahiran Ankara, 24 Oktober 1960 tersebut mengaku sempat dicibir. "Orang mencibir dan menganggap kayaknnya film dokumenter adalah jenis film yang enggak perlu ditonton," kata dia.
Belum lagi, menurutnya, standar kesuksesan sebuah film di Indonesia diukur dari jumlah banyaknya penonton dari pada kualitas filmnya. "Padahal pemerintah bilang kita harus membuat film yang mendidik," ujar Jay.
Melalui film pertamanya, Banda the Dark Forgotten Trail, Jay ingin membuktikan bahwa film dokumenter tak kalah menarik dari film fiksi. Apalagi dirinya memberikan sentuhan yang berbeda dari film dokumenter pada umumnya.
"Ini menjadi tantangan. Saya mau buktikan kalau film dokumenter itu tak harus selalu membosankan," ujar Jay Subiyakto.
DINI TEJA