TEMPO.CO, Jakarta -Mengenakan busana pantai warna merah menyala, Nia Gautama terbaring miring agak meringkuk di tempat tidur dengan kelambu yang melingkar. Beberapa perlengkapan melukis diletakkan di sudut-sudut di dekat kelambu pembatas. Perempuan itu merelakan tubuhnya menjadi obyek lukis beberapa laki-laki yang mengunjungi Galeri Cipta III, Sabtu, 8 Juli 2017. Beberapa lembar kertas hasil respons para pengunjung tertempel di sisi kiri dinding galeri.
Namun sebagian pengunjung tak hirau penampilan Nia. Mereka terlihat asyik memilih deretan stiker dengan kode huruf dan angka. Stiker itu menyuguhkan beragam gambar imaji anggota keluarga dambaan. Mirip stiker yang sering kita di lihat di kaca belakang mobil seperti tulisan stiker happy family: papa, mama, kakak, adik, kucing atau ayah bunda, Raihan, Salwa, Lilo cat, dan sebagainya. “Enaknya yang mana ya, ya itu A 11 sama B 9,” ujar dua pengunjung saat memilih-milih stiker itu.Performance art oleh seniman Nia Gautama dari Bandung. Tempo/Nuridansah
Si pembuat karya, Faisal Rahman, ingin menampilkan citraan keluarga bahagia dambaan orang Indonesia yang serta-merta diperlihatkan di muka publik melalui stiker di kaca. Sebagai pelengkap, dipasang pula lembaran-lembaran stiker berisi tulisan dan imitasi kaca mobil lengkap dengan stiker, diiringi lagu serial sinetron zaman dulu Keluarga Cemara yang dibintangi Adi Kurdi. Pengunjung dipersilakan memilih “anggota keluarga” dambaannya.
Body Out. Begitulah tajuk pameran performatif yang digelar Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada Kamis-Sabtu, 6-8 Juli 2017. Kegiatan ini menampilkan karya para seniman lintas media dari Jakarta, Bandung, dan Singapura tentang ketubuhan. Mereka adalah Rega Ayunda, Riar Rizaldi, Theo Frids Hutabarat, Abi Rama, Angga Wedhaswara, Cynthia Delaney Suwito, Dea Widyaevan, Faisal Rahman Ursalim, dan Nia Gautama.
Fransisca Retno, kurator pameran performatif ini, mengatakan sebelumnya para seniman tak saling mengenal dan berkomunikasi. Komunikasi diatur olehnya, dan tak ada alur khusus dalam pameran pertunjukan ini. “Ini bergantung pada kebutuhan seniman dan mempertimbangkan unsur estetikanya.”
Para seniman, ujar dia, dituntut bisa menampilkan karya performanitas ini melewati batas mediumnya yang biasa mereka garap. Mereka diharapkan bisa menampilkan tubuhnya sendiri sebagai pusat pemaknaan dan memanfaatkan tubuh-tubuh lain sebagai perpanjangan tubuh personalnya sebagai satu kesatuan karya. Sebagian besar seniman itu tidak berangkat dari suatu kesadaran khusus menjadi seniman performance, bahkan tidak menyadari ada unsur performavitas dalam karyanya.
Lihat saja, misalnya, apa yang terjadi di salah satu ruang kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diisolasi. Pengunjung diajak berkomunikasi dengan Angga Wedhaswara di salah satu ruang yang tertutup itu. Dalam kegelapan, ia ditemani anaknya yang sibuk bermain laptop di meja yang diterangi cahaya lampu gantung yang bergoyang-goyang.
Kepada pengunjung, ia bercerita tentang keluarganya melalui dua telepon seluler yang tertempel di kaca jendela di dalam dan di luar ruangan. Sayangnya penampilan Angga ini kurang maksimal karena kekuatan sinyal Wi-Fi atau data ponsel yang naik-turun.
Di ruang pleno Kantor DKJ, ada Rega Ayunda yang asyik menggores spidol di plastik transparan beralas overhead projector. Rega ditemani Riar Rizaldi yang mengeksplorasi bunyi dan memperkerasnya dengan sistem suara saat Rega menggores spidol, memblok, dan membuat titik-titik pada plastik itu. Penonton dibiarkan menikmati proses Rega menggambar dan karyanya di tampilan yang disemprotkan ke papan tulis. Prosesi itu juga diwarnai bunyi berdebum, dang dung, gresek-gresek atau gelegar plastik saat digores spidol atau saat plastik diangkat untuk diganti plastik lain.
Sekilas mungkin kita hanya akan melihat mereka menggores dan diam mengatur bunyi, tapi tanpa sadar penonton pun masuk dalam satu pertunjukan yang tidak biasa. Demikian juga penampilan para seniman lain yang mengajak pengunjung masuk dan tanpa “sadar” menjadi bagian dari pameran pertunjukan itu sendiri.
DIAN YULIASTUTI