TEMPO.CO, Jakarta -Raja Rahwana murka. Adiknya, Wibisana, menolak permintaannya untuk membantu melawan Rama Wijaya dan pasukan kera yang akan menyerang Alengka. Lantas, Wibisana diusir dari kerajaan.
Rahwana lalu menyuruh pasukannya membangunkan adiknya yang lain, Kumbakarna. Dia menjamu adiknya itu dengan makanan paling lezat. Ujung-ujungnya, Rahwana juga meminta Kumbakarna berperang melawan pasukan Pancawati yang dipimpin Rama.
Semula Kumbakarna menolak. Namun sikapnya itu berubah saat Rahwana mengabarkan kematian kedua anak Kumbakarna usai bertempur melawan pasukan kera. Raksasa itu akhirnya menyatakan kesanggupan untuk menjadi senapati dalam perang melawan pasukan Rama Wijaya.
Di seberang lautan, Rama Wijaya dan pasukan kera membuat bendung agar bisa menyeberang ke Alengka. Mereka bekerja bergotong-royong membangun jembatan. Dengan kesaktiannya, Rama mengeringkan lautan agar pekerjaan itu lebih mudah dilakukan.
Lakon Rama Tambak itu merupakan bagian dari cerita kitab Ramayana. Cerita itu dipentaskan dalam Opera Ramayana di Benteng Vastenburg, Solo, 28-30 Juni 2017.
Pementasan yang diselenggarakan Pemerintah Kota Surakarta itu digunakan untuk menghibur pemudik serta wisatawan yang berlibur dan berlebaran di kota tersebut.
Ini tahun ketiga pemerintah daerah setempat menggelar pertunjukan Ramayana untuk menghibur pemudik dengan nama "Bakdhan Neng Solo" (Lebaran di Solo). Kisahnya tentu beda-beda. Tahun lalu, pertunjukan melibatkan 75 penari dan 30 musikus. Namun kali ini pertunjukan itu dimainkan oleh sekitar 200 orang. Seperti tahun sebelumnya, penari sekaligus koreografer, Agung Kusumo Widagdo, didaulat menjadi sutradara.
Dalam pementasan Rama Tambak itu, Agung menggambarkan sebuah lautan dengan cukup menarik. Kain biru dalam ukuran besar dikibarkan di belakang panggung, menggambarkan lautan yang tidak pernah tenang. Beberapa penari dengan balutan kain serupa bergerak atraktif di tengah panggung. Mereka juga memainkan selendang biru seolah menjadi ombak yang menggulung bertubi-tubi.
Eksplorasi lakon Rama Tambak semakin dalam. Tak hanya menyuguhkan konflik kerajaan, sutradara juga menyelipkan pesan lingkungan dalam lakon itu. Lihatlah kehadiran puluhan penari, sebagian besar anak-anak, berkostum warna-warni. Mereka berperan sebagai hewan dan tumbuhan laut yang tengah terancam kehidupannya. Mereka berada di ujung kematian saat Rama Wijaya mengeringkan air laut.
Mereka pun protes karena harus dikorbankan dalam usaha Rama merebut kembali Dewi Shinta dari tangan Rahwana. "Adegan tersebut merupakan improvisasi kami dalam menggarap lakon ini," kata Agung. Meski banyak dipandang sebagai karakter protagonis, langkah Rama dalam mengeringkan lautan merupakan sebuah perbuatan yang merusak lingkungan dan ekosistem.
Adegan itu juga menyisipkan pesan bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan yang terkadang kurang memperhatikan nasib warga yang terkena dampak. Di sisi lain, tidak banyak warga yang memiliki kekuatan untuk menyuarakan nasib yang menimpanya.
Dalam pementasan itu, Agung merangkum beberapa lakon sekaligus dalam sebuah pertunjukan luar ruang berdurasi 2,5 jam. Beberapa di antaranya Wibisana Tundhung, Rama Tambak, hingga Rahwana Gugur.
Ada beberapa sanggar tari yang terlibat dalam pementasan itu. Selain penari dari Institut Seni Indonesia, ada pula penari dari Sanggar Surya Sumirat, Semarak Candrakirana, Wayang Orang Sriwedari, hingga Moncar Iswara yang mendukung pementasan itu.
Pohon beringin besar di sisi panggung dieksplorasi sebagai tempat bergelantungan pasukan kera yang dipimpin Hanoman. Tata suara yang digunakan cukup sempurna untuk sebuah pementasan opera luar ruang.
Untuk mempermudah penonton memahami cerita wayang itu, seorang pria yang berperan sebagai dalang beberapa kali tampil di panggung, berdialog dengan pemain maupun pemusik. Sembari berdialog, mereka memberi penjelasan soal alur cerita sembari melempar banyolan segar.
Pemusik gamelan yang dipimpin oleh komposer Dedek Wahyudi membawa suasana segar dalam pementasan itu. Gamelan racikannya memiliki warna klasik, jazz, hingga hip-hop, dan berhasil mendapat apresiasi penonton dengan cara bertepuk tangan.
Nanang Priyana adalah salah seorang di antara penonton yang mengaku sangat menikmati penampilan penari dan pemusik dalam opera itu. Hanya, pria asal Ciamis itu tidak terlalu bisa mengikuti alur ceritanya. "Saya tidak paham bahasa Jawa." *
AHMAD RAFIQ (Sala)