TEMPO.CO, Jakarta – Ali Audah telah tiada. Sastrawan dan penerjemah karya sastra ini meninggal dalam usia 93 tahun di rumahnya di kawasan Bogor, Selasa, 20 Juni 2017, sekitar pukul 06.30. Tidak ada sakit khusus yang diderita Ali. “Sakit tua,” kata Ade Abdul Kadir, keponakan Ali Audah, kepada Tempo, Selasa malam.
Menurut Ade, hasil pemeriksaan kesehatan pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, 14 Juli 1924, itu semua bagus. Hanya otot-otot dan tulangnya yang sudah lemah. “Berkali-kali jatuh,” ujar Ade. Terakhir, Ali jatuh sekitar enam bulan yang lalu. Setelah itu kesehatannya menurun.
Sekitar tiga minggu yang lalu, Ali Audah tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur. “Kalau ke kamar mandi, saya angkat dari tempat tidur ke kursi roda lalu didorong ke kamar mandi,” kata Ade.
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Oyon Sofyan, mantan Kepala Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, menuturkan ia terakhir kali bertemu dengan Ali pada pekan lalu. Kondisi Ali memang sungguh tidak fit. “Bicaranya sudah patah-patah,” kata Oyon, yang mendokumentasikan banyak karya-karya Ali.
Ali Audah dikenal sebagai salah satu penerjemah karya sastra terpenting yang dimiliki Indonesia. Meskipun pendidikan formalnya hanya sampai kelas I madrasah ibtidaiyah, Ali menguasai bahasa Arab, Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda. Ia telah menerjemahkan puluhan karya sastra.
Pada 2015, Ali dianugerahi Penghargaan Akademi Jakarta. “Ali Audah adalah penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang terbaik,” kata Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah, saat itu.
Selain menerjemahkan, Ali telah membukukan karyanya sendiri, seperti novel Jalan Terbuka (1971), naskah drama Murka (1963), serta Nama dan Kata dalam Alquran (2011).
MUSTAFA ISMAIL