TEMPO.CO, Jakarta - Surat-surat Kartini dibacakan para perempuan malam ini di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 11 April 2017. Dua seniman tampil membawakan musikalisasi puisi, yaitu Gita Gutawa dan Kartika Yahya.
“Habis malam datanglah cahaya, habis topan datanglah reda, habis juang datanglah mulia, habis duka datanglah suka,” ujar Gita Gutawa yang bergaun hitam dengan bawahan kain coklat. Kartika Yahya tampil dengan baju jingga dan rambut cepaknya.
Sebelum memulai puisinya, Kartika bercerita, sewaktu kecil dia terpaksa memakai kebaya dan konde setiap tahun dalam perayaan Kartini. Namun, sewaktu dewasa, dia pun mengerti makna dari baju Kartini. Dia membeli buku Habis Gelap Terbitlah Terang di toko buku bekas. “Ternyata bukan kondenya yang dirayakan, bukan kebayanya, tapi pemikiran seorang Kartini dan keberanian Kartini,” kata dia.
Kartika pun membawakan musikalisasi puisi yang syairnya adalah gabungan dari tembangnya saat demonstrasi membela warga Kendeng, digabung dengan puisi Kartini. “Saya ingin merayakan Kartini-Kartini dari Kendeng,” ucapnya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berikutnya membacakan “Surat Kartini untuk Nyonya Abendanon” yang ditulis pada 10 Juni 1902. Retno bercerita soal pemilihan puisi ini untuknya. Menurut dia, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, sengaja memilih puisi ini untuknya karena Retno adalah mantan Dubes RI untuk Kerajaan Belanda.
“Kami sama sekali tak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa kebarat-baratan, dengan pendidikan bebas,” ucap dia membacakan bait-bait puisi. Sebelum acara dimulai, Retno sudah memegang teks puisi-puisi yang hendak dibacakannya itu. Dia memperlihatkan teks puisinya dengan huruf besar-besar. “Supaya saya bisa baca,” kata dia sambil tersenyum.
REZKI ALVIONITASARI