TEMPO.CO, Jakarta - NADA-nada reggae mengalun riang membawa terbang ke suasana negeri Jamaika, tempat kelahiran genre musik ini. Meskipun syair yang dinyanyikan Joni Agung and Double T (JADT) Band adalah dalam bahasa Bali. “ Luh inget iluh di bongkol pandane, luh dadi janger ditu bli dadi kecak, garang legu ditu iraga pedaduan, “ Pocol Bli Nekung Iluh Uli Pidan….” .
Syair ini berkisah tentang hubungan cinta dua anak manusia yang gagal diwujudkan. Dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya, “Luh ingat luh, di kebun Pandan, kamu jadi penari Janger, aku penarik kecaknya. Digigiti nyamuk. Tapi akhinya (kisah cinta) gagal, padahal aku naksir kamu sejak dulu”.
Lagu berjudul Manis Manisen adalah satu dari 10 lagu dalam album bertajuk “Persaudaraan Tanpa Batas” yang diluncurkan, Selasa, 14 Februari 2017. Ini album kelima sejak kelompok ini berdiri pada 2004. “Pembuktian kesetiaan untuk tetap berada di jalur ini setelah memutuskan hidup di dunia musik,” kata Joni Agung, sang vokalis.
Bahasa Bali dipilih karena telah terbukti dapat mengikat komunitas pecinta musik ini yang selalu menantikan kehadiran mereka di berbagai event. Selain itu, tema-tema kehidupan sehari-hari bisa disampaikan dengan leluasa. Termasuk yang memiliki muatan kritik sosial atau sekedar canda tawa.
Toh begitu, Joni Agung sebagai penulis lagu juga menyelipkan syair berbahasa Indonesia bila ia merasa pesan yang disampaikan seharusnya menjangkau khalayak lebih luas. Seperti dalam lagu Hancurkan yang berbicara tentang ketulusan dan kesediaan untuk membuka diri. Syair yang apik berpadu dengan nada bossanova nostalgia membawa lagu ini seperti sebuah kenangan di masa silam.
Berbeda dengan JADT, band The Bodhi yang secara bersamaan melakukan peluncuran album justru mengandalkan syair berbahasa Inggris. Mereka seperti ingin menegaskan, selain memiliki jati diri, Bali adalah wilayah internasional dengan interaksi yang melintasi batas negara dan budaya. Dari sisi musiknya, mereka mengusung gaya reggae roots yang memposisikan reggae sebagai akar dalam membalut kreativitas bermusik mereka.
Bobi Dinar pada vokal, Wayan Cetu Drums, Acik Bass dan Gus Kobar Guitar mempersembahkan 6 lagu dalam CD audio mereka dan 6 lagu dalam DVD. Lagu Morning Of The World yang dipersembahkan untuk Sanur mewakili gaya mereka yang khas. Ada juga lagu Roots Rebel, sebuah komposisi fusion reggae bertemakan pergerakan pejuang membela kepentingan orang banyak namun kerap dijadikan musuh oleh mereka yang merasa terancam.
Menurut I Gusti Agung Bagus Mantra, produser kedua grup ini, peluncuran album ini langkah kebangkitan di tengah kelesuan pasar musik di Bali. “Secara pemasaran susah, karena CD dan DVD masih gampang dibajak. Bahkan semua toko pemasaran lokal sekarang sudah tutup,” ujarnya.
Bagi grup band, album tetap diperlukan untuk mengikat fans dan komunitas reggae yang biasanya mencari CD original setelah grup manggung di berbagai acara. “Kalau ditanya soal BEP (balik modal) ya susah karena minimal harus terjual sampai 3.000 keping,” jelasnya. Untuk soal ini, mereka bekerja lebih sebagai seniman yang kepuasannya cukup terpenuhi setelah karya dihasilkan.
Toh demikian, untuk mendukung peredaran, pemilik Pregina Art & Showbis ini juga mendistribusikan album itu ke lebih dari 40 digital store di seluruh dunia seperti Itunes, Spotify, Deezer dan amazon music. Ini akan memudahkan pembelian karya mereka yang dapat diunduh secara profesional berbayar.
Dia optimis, soal bahasa Bali atau bahasa Inggris yang digunakan tak akan membuat segmentasi pasar masing-masing album terbatas pada kalangan tertentu. Itu karena musik sendiri adalah bahasa universal yang bisa dirasakan tanpa melihat asal-usul bahasanya. “Apalagi musik reggae sudah tersebar dan akrab bagi telinga semua orang.”
ROFIQI HASAN