TEMPO.CO, Jakarta - Koran Tempo Akhir Pekan edisi Sabtu, 11 Februari 2017 memuat resensi album terbaru kelompok musik folk-jazzy Payung Teduh berjudul Live at Yamaha Live and Loud, produksi Yamaha Musik Indonesia & Demajors. Berikut kutipan lengkap resensi yang ditulis Ananda Badudu.
+
Sejak 2012, Payung Teduh belum punya album baru. Bertahun-tahun mereka memainkan lagu yang itu-itu saja. Agar pendengar tak jenuh-jenuh amat, seringkali mereka mengutak-atik aransemen. Versi manggung berbeda dengan versi album. Versi album pun ada beberapa. Ada yang sangat kasar dan indie banget, seperti album pertama mereka yang rilis pada 2010. Ada juga versi album Dunia Batas, yang digarap bersama arranger Ramondo Gascaro di bawah naungan label Ivy League.
Berhubung lagu-lagu pada album-album itu sama, baik sengaja maupun tak sengaja, pastilah siapa pun yang mendengarkan akan tergoda untuk membanding-bandingkan aransemen dan hasil rekaman album yang satu dengan yang lainnya. Album manakah yang paling berhasil? Album mana yang paling membuai dan menghanyutkan? Aransemen mana yang berhasil mengangkat lagu-lagu Payung Teduh? Mana yang gagal?
Album aransemen ulang, Live at Yamaha Live and Loud, bisa dianggap gagal dari segi musikalitas. Ini bukan soal teknik rekaman. Kalau soal itu, rekaman langsung yang digelar atas kerja sama Yamaha dan Payung Teduh ini layak dibilang tanpa cela. Ini rekaman langsung yang super-sempurna. Suara setiap instrumen terdengar sangat jernih, terutama vokal dan seksi dawai. Nyaris tak ada bocor suara di setiap lajur rekaman. Soal teknik dan kejernihan hasil rekaman langsung, sudahlah, tak perlu banyak dikomentari.
Ini juga bukan soal kesiapan rekaman. Jam terbang para musikus yang terlibat menjamin semuanya saat mereka bermain sambil direkam. Mereka bisa bermain tanpa kesalahan berarti. Vokal Istiqamah Djamad alias Is 99 persen tepat nada. Sebuah pencapaian bagi seorang penyanyi pop dalam sebuah rilisan rekaman langsung.
Permainan para pemain lain pun sangat bersih. Rasa-rasanya itu berkat jam terbang Payung Teduh yang demikian tinggi dan jadwal manggung yang lumayan padat. Jika mendengar ke-11 lagu hasil rekaman mereka, tampaknya proses rekaman berjalan sesuai dengan rencana. Kegagalan dimaksudkan terkait dengan soal lagu dan bagaimana lagu itu dirasakan dan dimaknai. Bagaimana lagu dilihat sebagai sebuah ekspresi.
Jadi, album Live at Yamaha Live and Loud yang digarap bersama arranger Sadrach Lukas merupakan versi yang gagal, sementara rilisan Ivy League terdahulu adalah versi yang berhasil. Aransemen Sadrach seringkali terdengar mewah tapi murah, ramai tapi hampa. Aransemen seperti itu sering kita temui dalam acara-acara televisi Indonesia.
Agar secara visual tampak ramai, si juragan televisi mengundang arranger dan orkestra mini untuk mengangkat lagu penyanyi (biasanya pop) yang akan tampil. Lalu, karena acara televisi biasanya digelar serba tergesa-gesa, si arranger baru dikasih lagu yang akan digarap sehari atau dua hari sebelum pertunjukan, sehingga ia tak sempat mendalami apa makna dan maksud di balik lagu tersebut. Kesan itu tampak dalam album ini.
Aransemen tambahan dari Sadrach hadir merespons notasi sebagai semata-mata notasi, bukan notasi sebagai bentuk ekspresi, bukan mendalami lirik, makna, dan konteks lagu. Contoh paling gamblang adalah pada lagu Di Ujung Malam, ketika Is menyanyikan lirik “...sunyi ini merdu seketika...”. Saat itu, suara dawai pada latar belakang begitu mewah mengiringi, membuat kita jadi bertanya-tanya di mana “sunyi yang merdu seketika” itu.
Juga pada isian setelah reff pada lagu Tidurlah. Mengapa kalimat belaian meminta orang yang kita sayangi agar segera tidur kemudian diikuti dengan melodi begitu berseri-seri? Melodi seperti itu rasanya lebih cocok diputar justru untuk menyambut orang yang baru bangun pagi.
Persoalan kedua terletak pada voicing alias pilihan not dalam pembentukan akor. Seringkali voicing, terutama pada piano dan kibor, terdengar kurang istimewa. Padahal, lagu Payung Teduh yang semi-semi folk jazzy potensial ditaburi voicing unik, dengan misalnya ditambahi not 9-11-13 dan variannya ketimbang puas bermain di 1-3-5-7 atau 1-3-5-6 saja. Bagian pembuka dan bait pertama Biarkan-Resah menjadi contoh lagu dengan voicing yang kurang istimewa, sehingga lagu ini menjadi kurang gereget dan membuai.
Persoalan ketiga adalah soal pilihan instrumen. Mengapa beberapa lagu berkukuh menggunakan keyboard ketimbang piano? Intro Menuju Senja tentunya akan lebih megah jika memakai piano. Mengapa pula Abdul Azis Turhan alias Comi harus memakai electric upright bass. Tak bisakah dibela-belain pakai bas betot akustik? Karakter suara bas elektrik ini sama sekali tak menyatu dengan warna musik Payung Teduh.
Kini Payung Teduh sedang menggarap album baru. Jika boleh memberi saran, sebaiknya mereka berkiblat pada album pertama atau kedua saja. Album terbaru, untuk urusan teknik rekaman, boleh juga. Tapi untuk urusan kedalaman dan musik sebagai ekspresi tidak bisa dijadikan acuan sehingga lebih baik dilupakan saja. *
Keterangan album
Grup: Payung Teduh (vokal dan gitar: Istiqamah Djamad; Bas: Abdul Azis Turhan; Drum: Alejandro Saksakame; ukulele dan trompet: Ivan Penwyn)
Daftar Lagu:
- Menuju Senja
- Kucari Kamu
- Biarkan - Resah
- Berdua Saja - Rahasia
- Kita adalah Sisa-sia Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan
- Di Ujung Malam
- Tidurlah
- Cerita Tentang Gunung dan Laut
- Amy
- Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan
- Angin Pujaan Hujan
Produksi : Yamaha Musik Indonesia & Demajors