TEMPO.CO, Jakarta - Garis-garis menunjukkan ekspresinya. Bergerak liar sesuka hati, melengkung, berputar, atau saling berkelindan. Sebagian berakhir sebagai jejak-jejak yang abstrak. Ada pula yang memuai ukurannya menjadi bidang-bidang lebih lebar. Tak sedikit pula yang menemukan dirinya sebagai sebuah bentuk yang bisa ditafsirkan sebagai sebuah obyek tertentu.
Penempatan garis sebagai subyek itulah yang ditampilkan dalam karya-karya perupa Hanafi yang kini dipamerkan di Komaneka Gallery, Ubud, Bali, hingga 7 Februari mendatang. Pameran itu dibingkai dalam tajuk “Mencari Jalan Baru”. Ia menghadirkan lima lukisan besar (2 x 3 meter), satu lukisan raksasa 6 x 3 meter yang dibuat di dinding tembok serta seri 160 lukisan kecil (20 x 30 sentimeter).
Bagi seniman kelahiran Purworejo 5 Juli 1960 itu, karya-karyanya merupakan cara untuk memaknai tantangan pemilik galeri yang memberi tema besar Coming Home untuk pameran itu. “Jadi, pulang bukan berarti fisik, melainkan ke gagasan awal ketika mulai belajar melukis,” ujar Hanafi.
Ia mengatakan garis merupakan elemen dasar yang membuatnya begitu terobsesi sehingga bentuk, warna, bidang, dan komposisi merupakan hal yang ornamental. Garis adalah subyek yang membentuk realitas lain sehingga ia mencoba menuruti kehendaknya untuk menjelajahi ruang yang tersedia.
Meski pada akhirnya, ruang itu terbatas oleh bingkai lukisan, menurut dia, imajinasi akan garis sebenarnya bisa melampaui batas-batas itu. Karena itulah Hanafi meyakini adanya hubungan antara satu lukisan dengan yang lain dan menciptakan harmoni di antara mereka. Hal itu bisa dirasakan dalam seri lukisan yang sengaja dipajang dengan cara yang unik, yakni dengan memaparkannya di meja panjang layaknya sebuah hidangan.
Sebagian ditumpuk berserakan begitu saja dan pengunjung bisa menyentuh dan mengangkatnya bila ingin mengamati lebih dekat atau membandingkan satu dengan yang lain. Mereka tak perlu khawatir akan larangan untuk menjaga jarak dengan karya-karya itu atau bahkan memindahkan dari tempatnya.
Keliaran garis terlihat jelas dan seperti mengajak penikmatnya masuk ke relung-relung yang diciptakannya. Warna garis yang terbatas, hitam atau merah, menciptakan kesederhanaan yang memikat. Kebosanan bisa tertepis oleh kekayaan varian dari abstraksi yang terciptakan. Bagi Hanafi, lukisan mestinya memang bukan sekadar gambar, tapi juga sebuah gambaran atau tafsir pribadi atas obyek-obyek yang tidak mesti sama antara satu orang dengan yang lain.
Jebolan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) ini mengembangkan prinsipnya itu dengan banyak belajar kepada para perupa senior. Salah-satunya adalah pelukis Nashar yang terkenal dengan prinsip tiga non-nya, yaitu non-konsep, non-object, dan non-teknik. Tapi, bagi Hanafi, kredo itu hanyalah teknik berkarya yang justru harus pula dilupakan ketika seorang perupa sudah menghadapi kanvas dengan kuas di tangannya.
Kehadiran Hanafi di Ubud tak lepas dari perjalanan kreatifnya pada 1999, saat dia mendapat tawaran dari pemilik Komaneka Galeri, Koman Wahyu Suteja, untuk menempati rumah di Sayan, Ubud. Rumah itu dijadikan studio pribadi untuk berkarya sehingga menghasilkan sejumlah karya yang dipamerkan di Komaneka pada 2001 dengan tajuk “Kesunyian di Sayan”.
Saat itu, dia menampilkan bidang-bidang yang menciptakan bentuk dan simbol dalam sapuan warna yang lembut dan tenang layaknya suasana pedesaan di Sayan. Garis-garis belum kelihatan peran pentingnya. Hanafi menulis di pengantar pameran, “Membutuhkan jalan baru sama halnya menarik keraguan baru untuk lebih lama menimbang tujuan, merasakan pulang yang lain untuk kepergian ke masa depan.”
Menurut Koman Wahyu Suteja, penampilan Hanafi itu rangkaian pameran para perupa yang dibingkai dalam tema besar Coming Home yang akan berlangsung selama satu tahun. “Sudah diawali tahun lalu dengan pameran Nyoman Sujana Kenyem dan Wayan Suklu,” ujarnya.
Perupa yang dilibatkan adalah mereka yang pada masa awalnya difasilitasi untuk berkarya dan berpameran serta kini telah cukup diperhitungkan di jagat seni rupa. Kesempatan itu bebas digunakan untuk menampilkan kembali perjalanan kreatif yang telah ditempuh atau justru untuk memulai sebuah perjalanan dengan gagasan yang baru seperti yang dilakukan Hanafi. *
ROFIQI HASAN