TEMPO.CO, Denpasar - Ratusan prangko, surat, dan kartu pos dipamerkan dalam Bali Philately Exhibition (Baliphex) 2016 yang digelar di Kantor Pos Renon, Denpasar, sepanjang 22-26 November 2016. Pada akhir rangkaian acara ini diisi kegiatan talkshow bertajuk Imaji Bali. Acara talkshow yang direncanakan diadakan di Kantor Pos Renon, Denpasar, dipindahkan di Taman Baca Kesiman, Denpasar.
Para pembicara yang hadir, yaitu perupa Alit Ambara, peneliti lontar Sugi Lanus, dan Ketua Komunitas Filateli Kreatif Indonesia Bali-Nusa Tenggara Anak Agung Ayu Daninda. Saat talkshow, Ayu mengatakan berdasarkan catatan sejarah, prangko pertama muncul di Inggris. "Pencetusnya Sir Rowland Hill pada 1840, prangko itu dikenal dengan nama The Penny Black," katanya di Taman Baca Kesiman, Sabtu, 26 November 2016.
Menurut Ayu, melalui Baliphex kedelapan ini dia berharap bisa membuka akses pengetahuan tentang prangko. "Jadi selain koleksi juga nilai guna yang lain memahami artefak sejarah. Prangko menjadi medium belajar untuk generasi masa kini, belajar tentang sebuah bangsa," ujarnya.
Adapun Sugi Lanus dalam talkshow ini membahas tentang sewala patra, tradisi surat-menyurat dalam masyarakat Bali. Ia menceritakan ada sebuah tradisi surat-menyurat yang menarik di Bali pada 1811. "Pada 25 Februari 1811 surat-menyurat antara Raja Buleleng dengan Sir Thomas Stamford Raffles meminta berbagai cenderamata di antaranya kamera," katanya.
Saat bersurat pada masa itu belum ada prangko. Sugi menjelaskan bahwa Raja Buleleng saat itu mengirim dua orang abdi kerajaan untuk mengantar surat. "Dua orang itu sekaligus untuk menjalani pendidikan dengan Raffles agar mengerti diplomasi. Itu adalah bukti resmi, jadi (dua orang itu) menempel ibarat prangko," ujarnya sambil tertawa.
Menurut Sugi, melalui acara Baliphex 2016 bisa menjadi sebuah momentum mengembalikan ingatan tentang kebudayaan. "Memprangkokan selekta kapita. Pemaknaan terpenting, orang Bali mampu melihat bahwa prangko masih kita beri nyawa untuk menjadi sebuah diplomasi kebudayaan," tuturnya.
Perupa Alit Ambara menjelaskan tentang pemaknaan desain visual dalam prangko-prangko bertemakan Bali. Menurut Alit, sejak dahulu Bali digambarkan lewat sebuah konstruksi kolonial. "Imaji tentang Bali digambarkan melalui penari Bali, kedamaian, dan eksotisme," katanya
Ia menjelaskan, elemen konvensional imaji tentang Bali dalam hal ini penari perempuan disisipkan sebuah dikotomi pertentangan di dalamnya. "Orang memahami gambar tentang Bali yang sekarang ini. Gerakan yang dilakukan bisa kita catat bukan hanya tulisan, tapi prangko menjadi narasi sejarah," ujarnya.
Ia menambahkan, prangko dengan desain visual Bali Tolak Reklamasi mengundang sebuah ketertarikan baru. "Mudah-mudahan kita bisa memproduksi untuk diterbitkan secara resmi oleh negara. Alasannya, untuk merekam dinamika sosial Bali," katanya.
BRAM SETIAWAN