TEMPO.CO, Yogyakarta - Komunitas seni Survive guyub merayakan pameran seni rupa bersama warga Nitiprayan, Kasihan, Bantul. Penari cilik dari kampung itu tampil membawakan tari sintren dan tari burung. Penduduk berbagai usia, dari bocah hingga manula datang menikmati acara itu, Sabtu malam, 29 Oktober 2016. Simbah-simbah mengenakan kain jarit dan Mbah Kamijo, tokoh penduduk kampong, pun ikut serta.
Acara memperingati tujuh tahun berdirinya komunitas seni alternatif itu bertajuk: Survive Day. Survive berdiri pada 18 Oktober 2009 dan digagas seniman Bayu Widodo di Jalan Bugisan Selatan No 11, Tegalkenongo, Yogyakarta. Mereka selanjutnya pindah tempat yang baru setelah puluhan anggota organisasi masyarakat yang didukung polisi membubarkan acara mereka bertajuk Lady Fast pada 2 April 2016.
Pameran seni dan pentas musik di Survive dibubarkan dengan alasan mempromosikan lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Survive kini menempati rumah baru mereka di Nitiprayan. “Kami bersilaturahmi sekaligus kulo nuwun kepada penduduk kampung,” kata penggagas komunitas seni Survive, Bayu Widodo.
Seniman yang berhimpun di komunitas itu dikenal banyak menghasilkan karya seni tentang kritik sosial politik. Misalnya mereka menyindir politikus yang mengumbar janji saat pemilihan umum, mengkritik eksploitasi perusahaan tambang yang rakus merusak alam, dan mengajak orang untuk peduli pada kelestarian alam.
Survive menyuguhkan pameran seni rupa berlangsung pada 29 Oktober - 27 November 2016. Puluhan poster mini seniman street art bernada kritik sosial dan politik dipamerkan di sana. Karya seni ciptaan Media Legal berupa gambar bocah miskin yang sedang duduk. Karya itu berhiaskan teks: dunia sedang tidak baik-baik saja.
Ada juga karya seniman street art Anti-Tank, Andre Lumban Gaol berupa potret wajah aktivis hak asasi manusia Munir. Pada poster itu tertulis menolak lupa. Poster Anti-Tank berwarna hitam putih itu pernah menghiasi sudut jalan di Yogyakarta. Di ruang pamer itu juga ada gambar Presiden Soeharto. Penguasa Orde Baru itu digambarkan mengacungkan pistol. Mulut dia membuka dengan gigi tajam seperti drakula. Soeharto mengenakan jas dan dasi bergambar dollar.
Dinding bangunan Survive berhiaskan mural seniman street art, seperti Anagard, Methodos, dan Plastic Overdose. Seniman Anagard membuat mural berukuran besar berjudul Bukan Mitos Keragaman. Mural itu bergambar seorang manusia berkepala burung berparuh besar. Dia memegang puluhan benang dan balon-balon yang bergerumbul di ujung benang-benang itu. Tubuh orang itu digambarkan tak kuasa menahan beban balon berwarna warni.
Di bawah balon-balon itu duduk seseorang berkepala hewan yang menengadahkan tangan. Anagard mengatakan kumpulan balon beraneka warna itu menyimbolkan cinta dalam keragaman. “Kehidupan yang tumbuh penuh warna harus dijaga,” kata Anagard.
SHINTA MAHARANI