TEMPO.CO, Jakarta - Wajah seorang perempuan tua Papua yang penuh guratan usia dengan tatapan kosong dengan latar belakang kanvas hitam. Kedua telapak tangannya yang kokoh dan keriput menengadah ke atas. Menampakkan sisa jari-jari yang bekas dipotong pada salah satu tangannya. Jari-jari yang dipotong adalah wujud rasa cinta mama terhadap keluarga atau kerabatnya yang meninggal dunia.
Perempuan tua itu juga mengenakan noken atau tas rajut khas Papua di kepalanya yang telah berubah menjadi tas plastik dengan bertuliskan brand nama salah satu pasar modern terkenal.
Ada ironi budaya orang Papua yang tergerus karena menghadapi budaya luar yang tergambar pada lukisan yang diberi judul Ana ye Ana yang bercerita tentang ibu itu. “Masyarakat Papua tidak mengenal plastik, tapi noken,” kata Ignasius Dicky Takndare saat ditemui Tempo saat pembukaan Pameran Seni Rupa bertajuk Remahili di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu, 15 Oktober 2016 malam lalu.
Baca:
Skandal Donald Trump:Kata 10 Wanita yang Mengaku Digerayangi
Duterte Nyatakan Pisah dari AS dan Bergabung dengan Cina
Noken adalah tas rajut khas Papua yang tak sekedar tempat meletakkan barang. Bahkan anak yang baru lahir pun akan diletakkan di dalam noken untuk dibawa ke mana-mana oleh ibunya sembari beraktivitas. Noken pun menjadi simbol kehidupan orang Papua.
Untuk melukiskannya, Dicky membutuhkan waktu terlama dibandingkan karyanya yang lain, yaitu dua bulan. Dia khawatir, keintiman yang dibangunnya saat melukis sosok ibu itu akan hilang saat karya itu selesai dibuat. Lantaran ada pesan terselubung yang ingin disampaikan Dicky dari karya itu.
“Meski ibu itu dipotong jarinya, meski mengenakan tas plastik, meski ada yang hilang, tapi tetap ada cinta,” kata Dicky.
Permainan wajah mendominasi dalam tujuh lukisannya. Seperti juga karya yang diberi judul Besohathe yang menggambarkan sosok pemuda dengan jidat berlubang dan ditambal dengan jeruji besi. Mulutnya terkatup dan dijahit dengan benang merah. Atau pun Silent Target #2 yang menampilkan pemuda dengan bulatan merah tanda sasaran target bidikan tembakan di ujung keningnya. Kedua sosok yang dilukis dari model itu mempunyai kesamaan, yaitu tatapan sepasang mata yang tajam.
“Wajah mengambarkan banyak arti,” kata Dicky yang mendirikan Ikatan Keluarga Mahasiswa Timur (IKMT) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2012.
Pameran dari 15-23 Oktober 2016 itu juga menampilkan karya-karya patung dari mahasiswa ISI Yogyakarta, Albertho Wanma. Salah satu karyanya yang menonjol adalah patung yang berjudul Koboro Koboro Yae yang diberi arti ambivalen. Dia membuat patung totem yang menggambarkan entitas yang mengawasi kelompok lain. Yang unik, patung totem paling bawah dipadukan dengan seni kinetik sehingga bisa menggerakkan tangan ke atas ke bawah serta mulut patung yang membuka dan menutup.
“Itu bukan latah menerapkan seni kinetik. Tetapi kinetik sebagai bagian dari konsep ide,” kata Dosen Seni Rupa ISI Yogyakarta Andre Tanama.
Konsep yang dibangun Albertho, menurut Andre adalah gambaran manusia yang selalu bergerak, sehingga lupa untuk merenung. Secara keseluruhan, kedua perupa muda itu tak hanya memunculkan pesan tentang tradisi orang Papua meratap saat berduka atau Remahili atas kondisi saat ini.
Tradisi meratap itu digunakan mereka untuk mengkomunikasikan persoalam kemanusiaan yang tiada habis di bumi ini. Meskipun judul-judul karya keduanya menggunakan bahasa Papua.
“Karena kami ingin mengangkat potensi daerah lewat bahasa,” kata Albertho.
PITO AGUSTIN RUDIANA