TEMPO.CO, Lampung - Sebuah kampung adat di Tulangbawang Barat (Tubaba) dilanda wabah penyakit mematikan. Penyebabnya adalah Cut Bacut, makhluk gaib pemakan mayat yang suka mengacau hidup manusia. Untuk menyelamatkan desa, tetua kampung lantas mengutus empat pemuda untuk memburu Cut Bacut agar wabah bisa dihentikan.
Sialnya, Cut Bacut ternyata punya berbagai kemampuan, dari mampu berubah-ubah wujud hingga mampu melintasi waktu. Pada bagian pertama, Cut Bacut menjelma menjadi penasihat tentara kolonial Belanda dalam perang melawan Raden Inten II. Tindakan Cut Bacut yang berkhianat terhadap bangsa sendiri menjadi penyebab pasukan Raden Inten II kalah dalam perang dan berujung gugurnya pahlawan nasional asal Lampung tersebut.
Drama tentang Cut Bacut tak berhenti di situ. Pada 2016, Cut Bacut melarikan diri. Di sana Cut Bacut berubah wujud menjadi Pikachu, yang memperbudak para pemain game Pokemon GO. Untungnya, para pemuda berhasil mengalahkan Cut Bacut dengan memenggal kepala Pokemon berwarna kuning itu. Namun ternyata Cut Bacut tidak lantas mati. Ia kembali melarikan diri melalui lorong waktu ke abad ke-16.
Cut Bacut baru berhasil dibunuh dengan bantuan leluhur orang Lampung, Raden Jambat, yang memberikan senjata sakti Piil Pesenggiri kepada empat pemuda tersebut. Piil dalam bahasa Lampung artinya adalah “prinsip” dan pesenggiri adalah “harga diri”.
Kisah rakyat Tulangbawang Barat dipentaskan dalam bentuk teater yang disutradarai oleh Semi Ikra Anggara bersama Andika Ananda di Tulangbawang Barat, Selasa malam, 11 Oktober 2016. Mengusung legenda tentang makhluk mistis pembawa wabah yang meneror warga setempat, Perburuan Cut merupakan bagian dari Selamatan Budaya Tubaba 2016.
“Sebenarnya, Cut Bacut adalah bentuk umpatan dalam bahasa Lampung. Orang yang memiliki sikap malas, iri hati, dan benci kerap dipanggil dengan sebutan demikian. Cut Bacut dalam teater ini menggambarkan sikap buruk dalam hati manusia,” kata Semi.
Untuk menangkal sikap buruk, Semi mengajak penonton kembali menerapkan nilai-nilai tradisional Piil Pesenggiri dalam kesehariannya. Piil Pesenggiri terdiri atas nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambaian, dan juluk adek.
“Nemui nyimah dapat diartikan santun dan ramah. Nengah nyappur adalah semangat berkompetisi. Sakai sambaian menggambarkan sikap visioner dan keterbukaan pikiran, sedangkan juluk adek berarti semangat berjuang meraih cita-cita,” demikian katanya.
Selamatan Budaya Tubaba 2016 diawali dengan parade budaya yang diikuti masyarakat adat dari 11 Tiyuh Toho (kampung tua). Parade dimeriahkan oleh penampilan berbagai atraksi kesenian dan budaya masyarakat dari 11 Tiyuh Toho yang tergabung dalam Federasi Adat Lampung Mego Pak kabupaten setempat.
Dalam rangkaian itu, ada pula peluncuran buku Kerja Sastra dari Tubaba. Buku yang berisi cerita pendek, puisi, dan esai itu ditulis oleh Nukila Akmal, A.S. Laksana, Yusi Avianto Pareanom, Iswandi Pratama, Esha Tegar Putera, Afrizal Malna, Dewi Kharisma Michelia, Dea Anugerah, dan Langgeng Prima Anggaradinata. Sebelumnya, buku yang merupakan hasil "perjalanan" para penulis tersebut ke Tubaba itu pernah diluncurkan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ada juga buku Seni Rupa Tubaba yang disusun oleh Hanafi dan Endro Rukmono. Buku itu melengkapi pameran lukisan 11 perupa Tubaba plus Hanafi dan Endro di Nuwo Sesat Agung, rumah adat Lampung, di kota yang sama. Dalam jajaran 11 perupa Tubaba itu termasuk pula karya Umar Ahmad, Bupati Tubaba.
Selamatan Budaya itu merupakan bagian dari upaya mengenalkan Tubaba ke publik yang lebih luas. Bupati Tubaba Umar Ahmad mengatakan Tubaba tidak memiliki obyek wisata alam, seperti gunung dan pantai. Tempatnya juga masih terpencil. Karena itu, ia mendorong pengembangan seni budaya agar orang tertarik berkunjung ke sana. “Kita perlu melestarikan adat dan budaya Lampung sebagai bentuk pelestarian sejarah masyarakat Lampung,” ujarnya.
IQBAL HIDAYAT | MUSTAFA ISMAIL