TEMPO.CO, Jakarta - Penyair Goenawan Mohamad meluncurkan buku puisi berjudul Fragmen. Dalam buku ini, dia juga melampirkan sketsa-sketsa buatannya yang akan dipamerkan di Galeri Ki Djoko Pekik di Yogyakarta pada 10 November 2016. “Saya kira dorongan yang lumrah pada setiap penyair untuk terus menulis,” kata Goenawan di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat, 14 Oktober 2016.
Goenawan mengatakan puisi terkadang tak memiliki ide. Puisi berkembang dari satu kalimat. Ia menyebutkan, jika ditelusuri, kata-kata tersebut muncul dari mana-mana. “Puisi harus bebas dari ide, selalu ada chaos yang tidak terduga dalam pembuatan puisi,” ujarnya.
Goenawan juga menyadari, semakin lama puisi bukanlah untuk berkomunikasi, melainkan untuk berekspresi. “Saya biasanya menulis puisi dengan tangan (menggunakan kertas dan alat tulis),” ucapnya.
Acara peluncuran buku puisi ini juga dimeriahkan pembacaan puisi dari beberapa seniman, seperti Sha Inne Febriyanti dan Budi Sunardi. Mereka membacakan puisi dari buku Fragmen, yang merupakan kumpulan puisi yang belum pernah diterbitkan.
Dalam kesempatan itu, Goenawan ikut membacakan salah satu puisinya yang berjudul Perisai Akhiles. “Perisai memiliki gambaran kedamaian, gambaran masyarakat yang damai,” ucapnya sebelum memulai membacakan puisi.
“Sebelum menikam, ia tunjukkan sisi tersembunyi perisainya, dan berkata pelan: Aku Akhiles, aku pembunuhmu. Aku tak datang dari negeri yang berbahagia,” perlahan Goenawan membacakan bait pertama dari puisinya.
Direktur Teater Utan Kayu Ayu Utami mengatakan tidak ada yang berubah dari karya-karya Goenawan dari masa ke masa. “Saya melihat di Fragmen ini kembali ke suasana-suasana lampau. Saya melihat sajak-sajak di Fragmen ada kemiripan dari sajak Goenawan di tahun ‘70-an, sajak yang lebih sederhana, lebih bercerita, dan di akhir sajak Goenawan, kita selalu merasakan suasana manusia mencari makna,” kata Ayu.
CHITRA PARAMAESTI