TEMPO.CO, Jakarta - Bersama Asep, Harry Haryono beraksi di panggung Teater Kecil , Gedung Teatear Jakarta. Asep seperti berpantomim, dari mulutnya seperti hendak bersuara. Harry pun demikian. Memegang sepasang alat semacam remote yang digerakkan naik turun. Dalam gerak tubuh yang kocak mereka mengeluarkan bebunyian yang aneh di telinga, seperti geraman, dengingan, dengungan, raungan di kejauhan, bunyi sesuatu seperti gerinda diputar atau ketikan mesin yang bergema, suara burung laut.
Keduanya juga menggoyangkan pelan sebuah angklung dan mematahkannya untuk menimbulkan bunyi. Bunyi lain yang diciptakan yakni dengan menyeret mikrofon di lantai panggung atau mengeluarkan suara di mulut dan kerongkongan yang tercekat dan seperti orang gagu yang dielektronisasi, menciptakan sensasi bunyi yang unik. Mereka mengelektronikkan suara yang mereka ciptakan menjadi bebunyian yang baru di telinga.
Penampilan pemuda asal Bandung dan Sukabumi ini menutup hari pertama Pekan Komponis Indonesia dalam sesi pentas Musik Eksperimental Elektronik, Senin, 3 Oktober 2016. Harry adalah salah satu dari enam komponis yang terpilih oleh Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta.
“Alat saya cuma suara mulut,ipad, wiimote untuk main game,” ujar Harry. Dia mendesain alatnya itu untuk menerima bunyi yang diterima dan diolah dalam aplikasi di iPad dan kemudian di elektronisasi. “Secara musikal saya tidak ingin terjajah dari aturan masa lalu. Saya berharap apa yang saya tawarkan bisa diterima masyarakat.”
Selain Harry, ada Fahmi Mursid yang mengembangkan eksperimen musiknya dengan menggabungkan unsure musik hip hop dan tradisional (suling, kalimba dan mini gamelan), ada pula Hery Budiman dengan gitar dan alat seperti rebab dan puisi menciptakan suasana duka tentang fenomena bencana alam.
Baca Juga:
Pada malam kedua, musik elektronik digital terasa lebih kental dari penampilan Dylan Amirio, Muhammad Fadhil Wafy dan Patrick Gunawan Hartono. Patrick bereksperimen dengan merekam dan mengelekstronikan suara bising saat pembuatan gamelan ketika para pengrajin menempa besi hingga membentuk menjadi lempengan gamelan.
Dia juga mengeksplorasikan tampilan visual seperti menyesuaikan gegap gempita musik elektronik dari mixing dan synthezier pada karya kedua. Penonton saat itu dipaksa untuk menatap layar dengan obyek digital yang bergerak sesuai entakan beat, ritme yang cepat dan irama yang naik turun dari laptop anak muda ini. Bagi yang tak biasa, ini cukup menyiksa. “Ini eksperimen saya, apakah musik saya masih bisa didengar atau menyakitkan.”
Dalam dua hari pementasan, ruangan penuh dengan anak-anak muda penggemar musik elektronik. Tapi penonton tak terlihat bergoyang atau berdiri jejingkrakan. Mereka mendengarkan musik yang disajikan dengan hikmad. Jika pun ada yang terlihat sangat menikmati, tampak dari goyangan kepala.
Di luar pementasan, digelar pameran organologi. Ada karya Ihasnul Fikri, Lintang Raditya,Antonius Priyanto, Ozsa Erlangga dan Novan Yogi Hernando. Rata-rata alat mereka menggunakan mixer dan synthesizer untuk menciptakan bebunyian. Kecuali alat milik Novan Yogi yang bernama Reka Genta diciptakan dengan rumus yang cermat dengan prinsip gravitasi . Dengan pipa-pipa, bel, lonceng, pemukul bel, pegas, senar dan potongan besi dengan proses mekanik menggunakan pompa yang digerakkan dengan sebuah motor beraliran listrik lemah. Kelereng bergerak menyentuh benda-benda itu seperti bola dalam game dingdong dan menghasilkan bebunyian.
Ozsa dengan alat musik Cowong Sura yang dibentuk seperti boneka jailangkung dikemas dengan sensor cahaya dan gerak tubuh, musik ini berbasis synthesizer. Yang banyak menarik perhatian juga alat Artmosfer, karya Ihsanul Fikri yang membangun bebunyian dari bahan besi yang dikendalikan dengan motor atau dinamo. Efek bunyi muncul dari sensor gerak seperti robot, percikan api akibat gesekan besi yang, bel atau lonceng.
Musik elektronik menjadi tema dalam Pekan Komponis Indonesia 2016, helatan rutin dari Dewan Kesenian Jakarta yang sempat vakum dan dimulai lagi pada 2013. Anto Hoed, salah satu anggota Komite Musik lembaga ini, mengatakan teknologi makin mewarnai dunia musik saat ini. Elektronik musik yang berkembang sejak 1970-pun makin berkembang dan digemari anak-anak muda. Dengan acara ini diharapkan mampu mewadahi ‘keliaran’ anak muda. Komite ini menerima 60 karya dari para komponis dari berbagai daerah.
Otto Sidharta, komponis sekaligus anggota komite ini mengatakan Electronic Dance Music (EDM) atau elektronik musik ini merupakan musik yang melampaui aturan nada irama dan ritme musik konvensional. Bunyi yang muncul bisa tercipta dari apa pun tak hanya alat musik konvensional.
Bagi Citra Ariyandari, musikolog dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, EDM telah menjelajah dunia muda dengan berbagai bentuk yang sesuai ruang dan waktunya. Genre musik ini, kata dia, sebagai budaya anak muda telah mendobrak nada. “EDM melebur dan membaur tanpa batas dalam entakan irama, menawarkan perlawanan dan kebebasan.”
DIAN YULIASTUTI