TEMPO.CO, Jakarta - Aku mencarimu Pasie Karam,
Di balik hutan
Di balik daun
Di balik awan
…….
Di tengah hawa sejuk malam sehabis hujan, Minggu malam lalu, penyair L.K. Ara terus melafalkan bait-bait puisi. Ia diiringi suara merdu nan melengking dari penyanyi tradisi Gayo, Hidayah. Istri L.K. Ara itu menyanyi kasidahan dengan gaya sebuku, yakni nyanyian ratapan dari Tanah Gayo, Aceh. Ia diiringi kelompok musik puisi Rangkaian Bunga Kopi beranggotakan Yoyok Harness, Fikar W. Eda, Yoppi Andrie, dan Jassin Burhan.
Adapun Ara melangkah berkeliling di panggung dan sesekali berlari kecil seperti mencari sesuatu. “Aku mencarimu Pasie Karam,” ucap sastrawan kelahiran Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937, itu berulang-ulang. “Namun…. Belum kutemukan juga/Maka aku hanya bisa memanggilmu….”
Pasie Karam adalah nama lama Meulaboh, yang juga dikenal dengan julukan Bumi Teuku Umar. Nama Pasie Karam ditabalkan menjadi judul buku kumpulan puisi yang menandai Temu Penyair Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat, 27–30 Agustus 2016. Buku setebal 460 halaman itu berisi puisi karya 163 penyair Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Rusia.
Ketua panitia Temu Penyair, Teuku Dadek, mengatakan antologi Pasie Karam disusun selama 1,5 bulan dengan jumlah penyair yang mengirim karya hampir 400 orang. “Cuma karena keterbatasan tempat diseleksi menjadi 163 penyair,” kata Teuku Dadek.
Namun puisi Mencari Pasie Karam yang dibacakan LK Ara malam itu tidaklah berasal dari buku itu. “Itu puisi spontan,” tutur Ara, Selasa malam lalu. Tadinya, ia mau membaca puisi yang ada di buku itu, namun ia urungkan karena dirasa kurang cocok untuk panggung terbuka. “Mencari Pasie Karam tidak mudah karena tertimbun waktu dan sejarah.”
Temu Penyair Nusantara diadakan Dewan Kesenian Aceh Barat (DKAB) bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten itu. Acara yang diikuti sekitar seratus penyair itu mengetengahkan berbagai agenda seperti bedah buku Pasie Karam, pembacaaan puisi, peluncuran 18 judul buku karya peserta, dan ziarah budaya ke tempat-tempat penting di Aceh Barat, salah satunya makam Teuku Umar.
Kegiatan itu adalah bagian dari rangkaian Pekan Kebudayaan Aceh Barat pada 22–31 Agustus 2016. Selain Temu Penyair, Festival Budaya itu diisi pertunjukan, pameran, pawai, bazar, kenduri rakyat, dan lomba-lomba. Ada pula seminar budaya yang menghadirkan pembicara dari Indonesia dan Malaysia.
Bedah buku puisi Pasie Karam menghadirkan sastrawan Abdul Hadi W.M. sebagai pembicara tunggal. Namun, karena begitu banyak puisi dalam buku itu, Abdul Hadi memfokuskan pembahasan pada puisi-puisi penyair Aceh.
Ia melihat, dari sisi tematik, sajak-sajak penyair Aceh sangat beragam. Ada puisi-puisi yang bicara persoalan sosial, religiositas, kegalauan dalam merespons persoalan negeri ini, hingga krisis nilai-nilai. “Puisi-puisi mereka tidak kalah dengan sajak-sajak penyair dari daerah lain,” ujar dia.
Abdul Hadi juga melihat, secara nasional, penyair terus bermunculan di hampir seluruh pelosok tanah air pasca 1990-an. Komunitas-komunitas sastra berkembang di banyak kota dan kegiatan sastra tersebar di hampir kota-kota penting di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Madura, dan lain-lain.
Tema religiositas menjadi salah satu yang menarik perhatian. “Banyak sekali penyair yang mencari identitas baru ini dengan bertolak dari pengalaman keagamaan, rasa keagamaan, dan nilai-nilai keagamaan,” ujar dia.
Abdul Hadi juga mengatakan, dalam kearifan Melayu Nusantara, ada empat pandangan yang menonjol tentang puisi. Pertama, puisi itu pada hakikatnya adalah permainan kata-kata indah. Permainan ini, menurut dia, bisa kurang bermakna dan bisa juga bermakna. Ia mencontohkan pantun teka-teki Melayu, berbunyi: “Pak Pung Pak Mustafa/Pak Dullah di rumahnya/Ada tepung ada kelapa/Ada gula di tengahnya.”
Menurut Abdul Hadi, baris-baris di atas kurang bermakna. Namun, ada pula puisi yang bermakna atau mempunyai isi seperti: “Gendang gendut tali kecapi/Kenyang perut senang di hati.” Pandangan kedua adalah sajak itu pada hakikatnya adalah ekspresi jiwa yang bersifat individual. “Sajak yang baik adalah ungkapan perasaan dan pikiran penulisnya.”
Ketiga, ada yang berpendapat bahwa hakikat puisi bukan karena bahasanya indah, tapi juga berisi atau mengandung pengajaran (hikmah).
Keempat, ada yang mengatakan puisi yang baik adalah hasil renungan mendalam terhadap pengalaman batinnya sendiri dan pengalaman sosialnya.“Ini kita temui dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bahri, dan lain-lain,” ujar dia.
Bedah buku itu juga diwarnai pembacaan puisi oleh sejumlah penyair seperti seperti Husnizar Hood, T.A. Sakti, Salman Yoga, Win Gemade, L.K. Ara, Hidayah, Fikar W. Eda bersama komunitas musik puisi Rangkaian Bunga Kopi, dan Khairil Anwar (Malaysia).
Selain pada bedah buku, panggung baca puisi juga disediakan saat peluncuran 18 buku karya para peserta temu penyair. Di sana tampil penyair seperti Hasbi Burman, Asril Koto, Syarifuddin Arifin, Ade Novi, dan Ace Sumantalain. Pentas puisi berlanjut di lapangan Teuku Umar pada Minggu malam itu. Dan di akhir puisinya, L.K. Ara melafal tinggi:
Pasie Karam
Kami datang mencarimu
Kami cinta
Kami rindu
O…. Pasie Karam….
***
MUSTAFA ISMAIL