TEMPO.CO, Meulaboh - Sastrawan Abdul Hadi WM tampil sebagai pembicara tunggal dalam bedah buku puisi “Pasie Karam” Temu Penyair Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat, Sabtu malam, 27 Agustus 2016. Antologi setebal 460 halaman itu berisi puisi-puisi karya 163 penyair Indonesia, Malaysia, Singapura dan Rusia. Namun, karena begitu banyak puisi dalam buku itu, untuk mudahnya Abdul Hadi hanya membahas puisi-puisi penyair Aceh. “Puisi-puisi mereka tidak kalah dengan sajak-sajak penyair dari daerah lain,” ujarnya.
Ia melihat, dari sisi tematik sajak-sajak penyair Aceh sangat beragam. Ada puisi-puisi yang bicara persoalan sosial, relegius, kegalauan dalam merespon apa yang terjadi di negeri ini, krisis nilai-nilai dan seterusnya. Tema relegius menjadi salah satu yang menarik perhatian. “Banyak sekali penyair yang mencari identitas baru ini dengan bertolak dari pengalaman keagamaan, rasa keagamaan dan nilai-nilai keagamaan,” ujarnya.
Abdul Hadi juga mengatakan bahwa dalam kearifan Melayu Nusantara ada empat pandangan yang menonjol tentang puisi. Pertama, puisi itu pada hakikatnya adalah permainan kata-kata indah. Permainan ini, menurut dia, bisa kurang bermakna dan bisa juga bermakna. Ia mencontohkan pantun teka-teki Melayu, berbunyi: “Pak Pung Pak Mustafa/Pak Dullah di rumahnya/Ada tepung ada kelapa/Ada gula di tengahnya.”
Menurut Abdul Hadi, baris-baris di atas adalah puisi yang kurang bermakna. Namun, ada pula puisi yang bermakna atau mempunyai isi, seperti: “Gendang gendut tali kecapi/Kenyang perut senang di hati.”
Pandangan kedua adalah sajak itu pada hakikatnya adalah ekspresi jiwa yang bersifat individual. “Sajak yang baik adalah ungkapan perasaan dan pikiran penulisnya.” Ketiga, ada yang berpendapat bahwa hakikat puisi bukan karna bahasanya indah, tetapi juga berisi atau mengandung pengajaran (hikmah).
Keempat, ada yang mengatakan bahwa puisi yang baik adalah hasil renungan mendalam terhadap pengalaman batinnya sendiri dan pengalaman sosialnya.“Ini kita temui dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bahri, dan lain-lain,” ujarnya.
Dari sisi makro, ia melihat puisi Indonesia sangat semarak pasca 1990-an. Penulis bermunculan di hampir seluruh pelosok Tanah Air. Komunitas-komunitas sastra juga berkembang di banyak kota. Begitu pula kegiatan sastra tersebar di hampir seluruh kota-kota penting di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain.
Selain diskusi, acara juga diselingi dengan baca puisi oleh sejumlah penyair seperti Husnizar Hood, TA Sakti, Salman Yoga, Win Gemade, LK Ara, Hidayah, Fikar W Eda bersama komunitas musik puisi Rangkaian Bunga Kopi, dan Fedril Anwar (Johor, Malaysia).
Temu Penyair Nusantara diadakan Dewan Kesenian Aceh Barat (DKAB) bekerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten itu. Acara yang diikuti lebih seratus penyair itu berlangsung pada 27-30 Agustus 2016. Selain bedah buku dan baca puisi, acara juga diwarnai peluncuran 18 judul buku puisi karya penyair peserta. “Peluncuran buku puisi dilakukan Minggu (28 Agustus) pukul 14.00,” kata Ketua DKAB Teuku Ahmad Dadek.
MUSTAFA ISMAIL