TEMPO.CO, Bandung - Perhelatan Bandung Zine Fest 2016 menghadirkan 52 pembuat majalah kecil (zine), penerbit buku mandiri, dan artis independen, dari berbagai kota di Indonesia. Festival yang pernah digelar 2013 lalu itu kini berlangsung di area Spasial Jalan Gudang Selatan nomor 22 Bandung, Sabtu, 27 Agustus 2016. Pengunjung diberi kesempatan untuk menyalin berbagai zine dengan mesin foto kopi.
Zine adalah sebuah media ekspresi bacaan alternatif. Beberapa zine dan pembuatnya yang meramaikan festival, diantaranya Annisa Rizkiana Rahmasari (Semarang), Atur Frekuensi (Ciamis), Bisik Bisik Kembang Goyang (Jakarta), Butuh Spasi (Tasikmalaya), Cikudapapers (Bandung), Djejak Kata (Bandar Lampung), Flock Zine (Yogyakarta), Garage Zine (Banjarmasin), Padang On Stage (Padang), dan Penahitam (Malang).
Menurut panitia, festival tersebut digagas sebagai ruang bagi para pembuat media alternatif, artis lokal, distributor dan penerbit independen untuk berkumpul dan memamerkan hasil karya mereka. Tujuan lain untuk memudahkan para pembuat zine dan pembacanya bertemu.
Peserta festival dari Surabaya, Fajar Trisna, 22 tahun, membawa empat dari lima volume zine buatannya sendiri. Bertajuk Kawai, dari bahasa Jepang yang berarti lucu, zine buatannya berisi karya berupa gambar-gambar sosok wanita. "Edisi terlaris yang musisi-musisi perempuan," katanya kepada Tempo di sela acara, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Zine lain yang unik misalnya karya Ika Vantiani, 41 tahun. Tak seperti umumnya zine yang berbentuk buku, karya Ika berupa poster lipat. Isinya foto-foto keseharian, begitu pula teks-teksnya merupakan pengalaman personal. "Saya bikin zine sejak 2000, sekarang sudah lima zine, masing-masing kumpulan beberapa edisi," katanya.
Beberapa isi zine lainnya berupa komik, puisi dan ilustrasi, juga gambar artwork. Zine sebagai media cetak alternatif sampai kini masih punya penggemar tersendiri, dan tidak hanya berisi tentang isu terkait politik dan musik.
ANWAR SISWADI