TEMPO.CO, Purwakarta - Malam terus bergerak, tapi suasana tetap bersemangat. Puisi-puisi terus disuarakan dari atas panggung di Gedung Bale Citra Resmi, Rabu malam, 24 Agustus 2016. Ada sejumlah penyair yang tampil dalam Konser Puisi Purwakarta Aum Siliwangi malam itu. Dua di antaranya adalah pesohor kepenyairan Indonesia yakni Sutardji Calzoum Bachri dan D Zawawi Imron.
Kedua tokoh sastra ini, sebelum membaca puisi, berorasi beberapa menit. “Saya setuju dengan Pak Bupati (Dedi Mulyadi) bahwa para pemimpin harus belajar sastra supaya kalau pidato didengarkan oleh rakyatnya,” kata Zawawi disambut tepuk tangan penonton yang memenuhi gedung itu.
Setelah berpidato singkat itu, penyair asal Madura ini pun membaca puisi berjudul Ibu. Puisi itu dibaca dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya rendah dan pada saat lain suaranya tinggi. “Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir/bila aku merantau....”
Sebelumnya, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dalam orasinya mengatakan pembagunan Indonesia terpisah dari karya sastra. Seolah karya sastra hanya ada dalam lingkup para penyair yang tidak ada kaitan dengan ketatanegaraan dan kekuasaan. “Itu cermin dari degradasi sebuah bangsa yang tidak memiliki nilai-nilai estetika dalam kehidupan kenegaraannya baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah,” ujar Dedi.
Ia menjelaskan bahwa umumnya para pemimpin besar adalah orang-orang yang memiliki dimensi estetika. Maka itu, ia mendorong agar para pejabat di daerahnya membuat surat-surat dinas dalam bentuk karya sastra yang indah. “Jadi kalau penuh dengan nuansa estetika, tidak akan tersinggung orang. Orang pun melakukan sesuatu tanpa paksaan. Ia akan terbawa oleh energi positif yang dipancarkan penulis surat.”
Malam itu juga tampil pula sejumlah penyair dari Purwakarta dan Jakarta. Adapun penampil utama adalah Asrizal Nur yang mempersembahkan konser puisi multimedia Aum Siliwangi. Ia berkolaborasi dengan grup tari dan teater di Purwakarta serta Rumah Seni Asnur. Asrizal membaca puisi berjudul Matahari Hati, Rumah Kita, Tikus Api, Tamtam buku, Percakapan Pohon dan Penebang.
Puncaknya adalah pembacaan puisi berjudul Aum Sliwangi yang khusus diciptakan untuk acara itu. Bila harimau ditanda karena belangnya/manusia ditanda karena pakaiannya/burung ditanda karena kicaunya ....”
Puisi-puisi itu dibacakan dengan diwarnai gambar-gambar, video dan animasi yang dipancarkan dari proyektor di panggung, tari, nyanyi dan teater. Kareografi digarap Mega Agustina dan penataan teaterikal dilakukan oleh Hafash Giring Angin. Asrizal tampak begitu total dan bertenaga menyuarakan bait-baik puisinya yang sebagian berisi kritikan terhadap berbagai persoalan dalam masyarakat dan negara, antara lain korupsi dan lingkungan.
Setelah Asrizal, di penghujung acara tampil Sutardji Calzoum Bachri. Sebagaimana Zawawi, ia juga megawali dengan orasi. Sutardji mengatakan bahwa sastra, puisi dan estetika sangat penting untuk saling bergandengan dalam berbangsa dan bernegara. “Sehingga bangsa menjadi berbudaya, menjadi besar,” tutur sastrawan yang digelari Presiden Penyair Indonesia itu.
Setelah berorasi sekitar lima menit ia pun berpuisi: “Wahai pemuda, mana telormu/Apa gunanya merdeka kalau tidak bertelor. Apa gunanya bebas kalau tidak menetas....”
MUSTAFA ISMAIL