TEMPO.CO, Jakarta -Dua generasi seniman asal Bali, bertemu dan bercakap tentang tanah leluhur mereka. Mereka bertemu dalam pameran You;con
Sebanyak 15 seniman memamerkan karyanya, masih dengan dasar ikon budaya tanah leluhur mereka, Bali. Tetapi jangan bayangkan ikon ini sarat dengan warna-warna merah, atau emas. Karya-karya seniman muda Bali di Yogyakarta ini tampil dengan warna cerah dan nge-pop.
Ke-15 seniman itu adalah Dewa Made Mustika, Made Arya Palguna, Agus Putu Sudadnya, IBK Sindu Putra, Tjokorda Bagus Wiratmaja, Agung Ari maruta, Putu Sastra Wibawa,Kadek Suardana, Ketut Suryawan, Made Agus Darmika Solar, Nyoman Agus Wijaya, Wayan Putra Eka Pratama, Made Pande Giri Ananda, Pangestus Widya Sari, dan Pande Gotha Antasena. Mereka seniman dari dua generasi 1990 dan 2000-an. Karya yang dipamerkan ini dikurasi oleh Ignatia Nilu, dapat dinikmati mulai 28 Juli- 6 Agustus 2016.
Lihat saja lukisan Ritus Rintik karya I Gusti Agung Bagus Ari Maruta. Sebuah lukisan dengan warna warna ceria, merah, merah muda dengan motif-motif kain dengan latar warna biru muda. Butir-butir air seperti air hujan yang turun. Jika diperhatikan, tampak sosok barong—ikon yang paling kental dalam budaya Bali, muncul dari goresan kuas dari cat yang cerah itu. Bukan barong yang garang menakutkan, tetapi barong yang nge-pop. “Nuansanya nge-pop tapi ke-Bali-annya tidak terlalu mencolok,” ujar Ignatia Nilu pada Rabu, 3 Agustus 2016.
Lihatlah pula karya I Ketut Suryawan dengan figure-figur wayang yang sangat kontemporer dengan latar warna yang merah dan merah muda, untuk lukisan berjudul Vegetarian. Figur wayang paradoks dengan pakaian,gemerlapnya hidup dan spiritualisme di belakangnya.
Sedangkan seniman muda Bali lainnya, Made Pande Giri Ananda dengan teknik plotot yang rapi dan berlapis-lapis berlatar warna merah muda, dia memperlihatkan tema identitas. Pada lukisan Street Fashion, sosok perempuan dengan rok bermotif mobil , berhelm dan sepatu boot merah berdiri gagah. Tetapi di belakang sosok itu, sosok-sosok lain pun tergambar. “Memang berlapis-lapis, dan lapisannya sangat tebal. Ini juga menjadi ritus meditasi kreatifnya,” ujar Nilu.
Berbicara tentang tanah leluhur mereka, tak hanya dari sisi budaya. Tapi juga dari fenomena sosial seperti lingkungan, hutan, tanah. Inilah yang suarakan oleh I Wayan Putra Eka Pratama dengan lukisan berjudul Perlahan dan Pasti, dengan lukisan potongan tengkorak dan geometri. Atau Agus Putu Suyadnya dengan lukisan gajah perkasa yang duduk setengah berjongkok bertopang pada pedang. Sedangkan Putu Sastra Wibawa menyajikan karya yang sangat abstrak,membongkar ikon budaya Bali dalam karya yang menonjolkan garis, geometrid dan warna. “Seperti ada upaya mendekonstruksi simbol, melawan upaya besar.”
Ignatia Nilu menjelaskan dalam pameran ini memang tak ada kurasi yang ketat. Pameran ini merupakan bagian dari trilogy rencana pameran sanggar ini. “Setelah I (aku), sekarang ini U (you) yang akan berujung pada US. Kali ini adalah untuk dialog, merespon dan mengajak dialog public tentang seni kontemporer Indonesia,” ujar Nilu.
Selain lukisan, ada pula seni instalasi karya I Nyoman Agus Wijaya yang menyajikan dua patung galvanis—dengan bentuk gerak perempuan menari balet –bukan tari Bali dan laki-laki dengan ayam jagonya. Mengingatkan tradisi para lelaki Bali yang suka menyabung ayam.
Seperti tradisi sanggar ini sebelumnya, pameran seniman ini selalu mengikutkan para seniman senior dan yunior dari generasi yang berbeda. Kali ini tiga seniman yang cukup senior terlibat dalam proses merangkul untuk tumbuh kembang proses para yuniornya yakni Dewa Made Mustika, I Made Arya Palguna dan Tjokorda Bagus Wiratmaja.
Ketiganya juga memamerkan kemampuan mereka. Made Palguna masih menyajikan ruh spiritual Bali dengan semedi, perjalanan rohani dalam wujud kura-kura. Sedangkan Tjokorda dengan kekuatan goresan cat dari paletnya menyajikan semangat dengan wujud kuda yang berlari. Agak berbeda dari yang lain, Made Mustika mengambil nilai spiritual dari sosok dari negeri Cina.
DIAN YULIASTUTI