TEMPO.CO, Denpasar - Untuk ketiga kalinya, Folk Revolutionaries digelar di Rumah Sanur - Creative Hub, Denpasar, Bali. Kali ini, kegiatan bulanan ini diisi diskusi soal film dan suguhan musik folk.
Rudolf Dethu, Art and Creative Management di Rumah Sanur - Creative Hub, yang juga penggagagas Folk Revolutionaries mengatakan kegiatan ini terinspirasi dari Gaslight Cafe di New York. "Di sana orang baca puisi, diskusi, hingga lahir revolusi hippies. Kesuksesan musikus Bob Dylan juga dimulai dari sana," kata Dethu di Rumah Sanur - Creative Hub, Denpasar, Sabtu, 23 Juli 2016.
Dethu menjelaskan, Folk Revolutionaris merupakan ruang kreativitas dan intelektual. Dari aspek tempat, Rumah Sanur merupakan tempat yang nyaman menikmati waktu santai. Rumah Sanur dilengkapi Creative Spaces, Kedai Kopi Kultur, Kumpul Coworking Space, Teras Gandum-Beer Garden, dan butik- TO-KO (Concept Store). "Kopi di sini produk perkebunan lokal, dan TO-KO menampung karya-karya desainer muda lokal," tuturnya.
Musik folk, kata dia, menjadi sajian yang cocok untuk menunjang berbagai kegiatan. "Ya lebih cozy, enak buat ngobrol, bukan hingar-bingar. Kalau terlalu bising enggak pas juga karena tempat ini dekat area perumahan," ujar mantan manager Superman is Dead dan Navicula ini.
Selain itu, Dethu menjelaskan, di Indonesia musik folk sangat berkembang. Di Bali, tutur dia, ada Dialog Dini Hari, Nosstress, dan Pygmy Marmoset yang sangat digandrungi.
Menurut dia, walaupun terkesan santai, musik folk mampu hadir sebagai gerakan perubahan. "Lihat saja demonstrasi tolak reklamasi Teluk Benoa, sering kan musik folk mengiringi barisan massa aksi. Contohnya, Dialog Dini Hari dan Nosstress," tuturnya.
Bulan ini, Folk Revolutionaris membahas film dokumenter. Dua pembicara, yakni penggagas sekaligus pengelola Denpasar Film Festival (DFF), Agung Bawantara dan Maria Ekaristi tampil sebagai pembicara. dimeriahkan oleh drummer Superman Is Dead (SID), Jerinx dan grup musik Zat Kimia.
Agung Bawantara mengatakan produk film dokumenter sangat dekat dengan orang Bali. Sarana yang digunakan, kata Agung, cukup sederhana, misalnya mengunakan gadget. "Orang Bali harus menguasai audio visual sendiri menawarkan gagasan. Media film ini gampang mudah disebarkan," ujarnya di Rumah Sanur - Creative Hub, Denpasar, Sabtu, 23 Juli 2016.
DFF, kata Agung, berperan mewadahi talenta lokal agar bisa menawarkan gagasan lewat karya film dokumenter. Ia menambahkan, di dalam film dokumenter, impresi dalam kehidupan sehari lebih jelas untuk bergerak dari satu titik ke titik yang lain. "Kalau film cerita akar industrinya rapuh, lebih tepat di Jakarta saja,"kata Agung.
DFF, kata dia, lebih mengangkat tema-tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Isu-isu soal lingkungan, kata dia, semakin menjadi fokus, yakni masalah krisis air di Bali. "Krisis air menimbukan konflik sosial, juga menggoyangkan sendi-sendi kebudayaan Bali," katanya.
Maria Ekaristi menjelaskan, pada 2010 DFF baru menerima 14 film yang seluruh pesertanya dari Bali. Pada 2011, Eka terus menjalin relasi dengan berbagai komunitas di Indonesia. "Saya berusaha melebarkan sayap dan sudah terbuka merambah nasional, pesertanya ada dari Medan, Aceh, Samarinda, dan Papua," katanya.
Eka menuturkan selama tujuh tahun DFF berjalan, yang ia amati dari kelemahan sineas-sineas di Bali adalah kurangnya riset. "Mereka merasa tahu tanpa melakukan riset yang lebih dalam," tuturnya.
Tahun ini DFF yang mengangkat tema 'Air dan Kehidupan' diikuti 157 peserta dari kategori umum, dan 7 peserta dari kalangan pelajar. "Tapi yang entry film kategori umum 77, pelajar 5. Film terbanyak tahun 2013 sejumlah 89," katanya.
Drummer Superman Is Dead (SID), Jerinx yang tampil solo secara akustik menilai Folk Revolutionaries sebagai acara yang tepat untuk mewadahi kreativitas dan diskusi. "Ini bagus, yang diangkat juga selalu relevan dengan isu-isu sosial yang terjadi di Bali," katanya.
Di Folk Revolutionaries Vol. 3 ini, pria bernama lengkap I Gede Ari Astina itu membawakan lima lagu. Tiga lagu SID, Bukan Pahlawan, Saint of My Life, Lady Rose sertadua lagu cover, yaitu If I Ever Leave This World Alive (Flogging Molly) dan Cheating at Solitaire (Mike Ness).
BRAM SETIAWAN