TEMPO.CO, Yogyakarta - Menjelang berakhirnya Art Jog 2016, sejumlah seniman telah menggalang duit untuk mengembalikannya kepada Freeport, sponsor bursa pasar seni rupa. Bagi sebagian orang, Freeport dianggap perusahaan yang eksploitatif, merusak lingkungan, dan melanggar Hak Asasi Manusia.
Dalam waktu singkat atau sekitar sepekan, uang yang terkumpul dari hasil saweran seniman sebesar Rp 16.350.000. Mereka yang terlibat dalam solidaritas mengumpulkan duit itu di antaranya Agung Kurniawan, Lashita Situmorang, Titarubi, Yustina Neni, dan Uji Handoko.
Mereka menamakan gerakan ini sebagai Solidaritas Warga untuk Art Jog 2016. Satu di antara penggagas gerakan itu, Agung Kurniawan, mengatakan Solidaritas Art Jog 2016 merupakan upaya mendukung Art Jog dengan cara mengumpulkan dana publik guna menutup atau mengganti uang sponsor perusahaan tambang itu.
Selain itu, gerakan ini menjadi cara untuk melihat sejauh mana masyarakat yang bergerak di bidang seni maupun non-seni mau dengan sukarela membantu kesulitan yang dialami penyelenggara Art Jog dengan cara menyumbang.
Ini untuk melihat apakah masyarakat aktif dan peduli atau hanya sekelompok kelas menengah abal-abal yang hanya bersaut-sautan di media sosial. ”Tapi, enggan mengeluarkan sejumlah uang untuk mengganti uang sponsor itu. Ini semacam “test the water,” kata Agung, Ahad malam, 26 Juni 2016.
Menurut Agung, jumlah uang yang terkumpul itu bukanlah nominal yang cukup untuk mengganti seluruh dana sponsor. Penyelenggara Art Jog telah menggunakan duit sponsor Freeport senilai Rp 100 juta. Agung menengarai mepetnya waktu pengumpulan atau bisa juga karena ketidakpedulian menyebabkan duit yang terkumpul tak cukup untuk mengganti duit sponsor.
Penggagas gerakan pengumpulan dana itu, kata Agung dilakukan secara mandiri. Mereka berpandangan Art Jog adalah contoh kegiatan seni yang digerakkan masyarakat dengan dukungan yang sangat kecil dari pemerintah. Situasi pendanaan yang mepet dan nyaris jatuh dalam kebangkrutan membuat penyelenggara memutuskan bekerja sama dengan Freeport. Bentuk kerja sama itu menurut Agung yang juga perupa tidak seimbang karena jumlah dana bantuan dari perusahaan itu relatif kecil.
Sedangkan, Art Jog, menurut dia merupakan modal budaya, bersifat internasional, dan punya kualitas estetik pada karya seni yang dipamerkan. Dampaknya juga menggairahkan iklim kesenian dan ekonomi Yogyakarta. “Kami yakin situasi ini ada karena terpaksa,” kata Agung.
Ia melihat situasi itu terjadi karena banyak kalangan mengabaikan pembenahan infrastruktur dan suprastruktur seni. Panitia Art Jog misalnya dibiarkan bekerja sendiri. Malangnya lagi, tanpa tahu pasti persoalannya, kata Agung ada sebagian kecil masyarakat yang menyerukan pemboikotan. Hal itu ia nilai malah memperkeruh suasana.
Art Jog, kata dia perlu dukungan nyata. Ia berharap situasi saat ini menjadi pembelajaran atau sekolah bersama dari penyelenggara maupun kalangan yang menolak Art Jog.”Kami berharap negara dan masyarakat hadir untuk menggagas acara seni lebih hidup dan bermartabat,” kata Agung.
Sebelumnya, kontroversi Art Jog menggandeng Freeport terjadi setelah sejumlah kalangan memprotesnya. Kecaman datang dari komunitas seniman street art, Andrew Lumban Gaol. Ada juga dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Forum Solidaritas Yogyakarta Damai pun turut serta mengritik Art Jog. Setelah itu muncul demonstrasi dari sekelompok orang yang di antaranya warga Papua untuk mengajak memboikot Art Jog.
Art Jog 2016 akan ditutup dengan acara yang diberi nama closing party pada Senin malam, 27 Juni 2016 di JNM. Acara akan ditutup dengan penampilan Dubyouth dan Libertaria. “Acara sampai pukul 22.30 atau tutup lebih lama,” kata Juru Bicara ArtJog 2016, Hamada Adzani.
SHINTA MAHARANI