TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Laretna Trisnantari Sita, mengajak para perupa melakukan gerakan melukis Yogyakarta tanpa hotel. Ajakan itu dilandasi keprihatinannya terhadap maraknya pembangunan hotel, mal, serta apartemen yang menyulap Yogyakarta dari wajah tradisional menjadi modern.
“Perlu ada gerakan melukis bersama sebelum Yogyakarta menjadi hotel. Atau melukis bersama, tapi hotelnya enggak perlu dilukis,” kata Laretna saat membuka pameran tunggal seniman Pupuk Daru Purnomo yang berjudul “Memory of My Life” di Galeri Gejayan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Kamis malam, 16 Juni 2016.
Istri almarhum bakal calon Wakil Wali Kota Yogyakarta, Aki Adhisakti, itu menjelaskan, masyarakat semakin tidak mengenal wajah asli Yogyakarta. Dia mencontohkan, dulu ada danau buatan di Taman Sari. Tapi kini ditimbun permukiman penduduk yang padat. “Dulu juga ada Kali Larangan. Ada yang tahu Kali Larangan?” kata Laretna di hadapan para seniman yang hadir.
Tidak satu pun seniman yang bisa menjawab. Laretna menjelaskan, Kali Larangan adalah sungai yang mengalir dari sisi bawah Kali Winongo yang dibendung. Aliran airnya memasuki dan mengitari Keraton Yogyakarta, yang dulu dikelilingi jagang atau semacam selokan.
Air tersebut juga mengaliri blumbang (kolam) Masjid Gede Kauman, yang dipergunakan untuk bersuci sebelum masuk masjid. “Semestinya Yogyakarta tetap mempertahankan wajah aslinya seperti Paris,” tuturnya.
Di sisi barat Yogyakarta, kata dia, ada persawahan yang luas membentang di kawasan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. Sawah sering diidentikkan dengan kemiskinan karena pembangunan fisik tidak dilakukan di sana. Padahal, ujar Laretna, sawah adalah simbol kekayaan gemah ripah loh jinawi. “Pertanyaannya, mampukah sawah-sawah itu tetap ada di sana?”
Perupa Yuswantoro Adi setuju gerakan melukis bersama tentang Yogyakarta dihidupkan kembali. Sebab, saat beberapa tahun lalu pemerintah Yogyakarta berencana membangun taman parkir di bawah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Yuswantoro dan perupa lain bersama-sama melukis alun-alun. Ada pesan naif sekaligus sindiran yang ingin disampaikan. “Ayo melukis, mumpung alun-alun belum hilang,” katanya.
Dia menilai gerakan melukis bersama tidak sekadar untuk mendokumentasikan setiap sudut Yogyakarta, baik yang berwujud kebendaan maupun bukan, melainkan merupakan gerakan budaya untuk melestarikan Yogyakarta. “Jangan sampai gerakan ini sekadar wacana. Tapi mari dieksekusi,” ucap Yuswantoro.
PITO AGUSTIN RUDIANA