TEMPO.CO, Yogyakarta - Panitia Art Jog 2016 tetap memasang logo PT Freeport Indonesia meski mendapat kecaman dari sejumlah seniman dan pengunjung. Logo itu terpasang di halaman Jogja National Museum, bersanding dengan logo perusahaan rokok, hotel, dan tekstil.
Meski dikritik di sana-sini dan ada ajakan boikot, Art Jog tetap dikunjungi. Merujuk data panitia, jumlah kunjungan per hari bursa pasar seni itu per hari rata-rata 100 orang. Karya seni lukis, foto, instalasi, patung, dan video 72 seniman masih terpajang di ruang galeri. Sebanyak 25 persen dari total karya sudah terjual.
Direktur Art Jog, Heri Pemad menyatakan tidak akan mengembalikan uang sponsor sebesar Rp 100 juta yang telah diberikan oleh PT Freeport Indonesia untuk penyelenggaraan bursa pasar seni rupa terbesar di Indonesia itu. Ia sudah mengikat komitmen dengan Freeport.
Tidak mudah buat panitia Art Jog untuk menghentikan perjanjian yang telah dibuat dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu di tengah penyelenggaraan kegiatan. Art Jog berlangsung di Jogja National Museum pada 27 Mei-27 Juni 2016 dan diikuti setidaknya 72 seniman.
Menurut Heri, bila ia menghentikan sponsorship Freeport, maka ia kena masalah hukum. “Kalau kami mengembalikan uang Freeport, itu sama artinya kami menelan kembali ludah kami sendiri,” kata Heri ditemui Tempo di Jogja National Museum, Ahad, 12 Juni 2016.
Panitia Art Jog mendapat kecaman dari sejumlah pihak akibat menggandeng Freeport. Kecaman datang di antaranya dari komunitas seniman street art, Andrew Lumban Gaol. Ada juga kritik dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Tak hanya itu, kecaman juga datang dari Forum Solidaritas Yogyakarta Damai.
Sejumlah seniman peserta Art Jog juga merasa tidak diberi tahu tentang dilibatkannya Freeport dalam pendanaan. Mereka menuding Freeport melakukan pelanggaran berupa perusakan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia di sekitar wilayah konsesi pertambangan Freeport.
Heri Pemad juga memberi alasan kalau mencabut Freeport sebagai sponsor, ia khawatir perusahaan lain yang menjadi mitra Art Jog akan menggalang solidaritas. Jika itu terjadi akan menyulitkan panitia Art Jog untuk menyelenggarakan pameran seni itu. “Perusahaan-perusahaan lain bisa cabut dari Art Jog kalau saya memutus kerja sama dengan Freeport,” kata Heri.
Menurut Heri, ia telah menghubungi banyak perusahaan yang selama ini dianggap tidak bermasalah. Namun, mereka tidak memberikan respon untuk membantu Art Jog. “Freeport pilihan terakhir dan kami tahu risikonya. Kami melakukan ini untuk menyelamatkan Art Jog,” kata dia.
Dia menyayangkan pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak menyokong Art Jog. Heri mengklaim panitia telah pontang-panting bertemu pejabat Dinas Pariwisata DIY. Tapi, mereka tidak menanggapi secara serius. Panitia Art Jog telah meminta bantuan kepada pemerintah DIY misalnya dukungan infrastruktur, seperti toilet portable. Tapi, hingga penyelenggaraan, bantuan tidak juga turun.
Kepala Dinas Pariwisata DIY, Aris Riyanto, mengatakan penyelenggara Art Jog telah mendapat bantuan pendanaan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Sesuai dengan pernyataan Heri Pemad, jumlah duit dari Bekraf untuk Art Jog sebesar Rp 500 juta. Aris mengatakan karena sudah mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, maka pemerintah DIY tidak mengucurkan dana. “Art Jog lebih banyak ditangani pemerintah pusat,” kata Aris ketika dihubungi.
Tempo berusaha mendapatkan tanggapan dari Freeport melalui Vice President Corporate Communication, Riza Pratama. Namun, pesan singkat maupun sambungan telepon kepadanya belum ia jawab.
SHINTA MAHARANI