TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah seniman dan aktivis mengkritik bursa seni rupa terbesar di Yogyakarta, Art Jog yang menggandeng Freeport Indonesia sebagai bentuk pragmatisme dan paradoks dalam dunia seni rupa.
Perupa Moleyono yang pernah beranjangsana ke tanah Papua mengatakan secara kasat mata, Freeport di Papua merusak lingkungan karena menghancurkan hutan dan mencemari sungai. Ia pernah transit di Timika dan menyaksikan bagaimana sungai-sungai menjadi kering akibat penambangan emas Freeport. Rakyat Papua, kata dia juga tidak mendapatkan dampak kesejahteraan dari penambangan itu. Mereka hanya mendapatkan program pelatihan, seperti menjahit. “Masak sebagai seniman kita diam saja melihat itu,” kata Mulyono.
Dia mengatakan bila seniman datang langsung ke Timika, Papua, barangkali ia akan berpikir ulang untuk melibatkan Freeport sebagai sponsor. Mulyono berpandangan Art Jog sama halnya dengan Art Fair, yang kental dengan pasar. Dengan begitu, yang ada adalah karya laku di pasar seni rupa., bukan konten karya itu. Ini menyangkut pasar global yang penuh permainan uang. “Logika yang dipakai Art Jog itu pasar global,” kata Mulyono dihubungi Tempo pada Kamis malam, 9 Juni 2016.
Mulyono mendapat undangan dari Art Jog yang di sana tertera logo Freeport. Ia melihat di sana penyelenggara bertumpu pada pasar dengan mencari sponsor penyandang dana, satu di antaranya Freeport. Ia berpendapat ada paradoks di ruang pamer Art Jog. Sebab, sebagian seniman yang berpameran kerap menyuarakan anti-imperalisme, anti-kapitalisme, menyoroti lingkungan, dan isu kemanusiaan. Dia menyarankan agar ada dialog antar-seniman yang ikut berpameran dengan penyelenggara.
Seniman teater yang juga aktivis perempuan, Naomi Srikandi ada persoalan di wilayah kebudayaan menyangkut Art Jog yang melibatkan Freeport sebagai sponsor. Negara kurang peduli pada kerja-kerja kebudayaan sehingga seniman perlu mencari sponsor sana sini. Ia mendesak negara untuk berperan lebih terhadap kebudayaan. “Ketiadaan jaminan atas konsistensi kerja menyuburkan pragmatisme, yang terbukti menggerogoti kebudayaan,” kata Naomi.
Ia berpendapat penambangan emas dan tembaga perusahaan milik Amerika Serikat itu bukan hanya merusak alam, tapi merebut kedaulatan rakyat papua untuk mengelola sumber daya alamnya. Dari situ, seniman punya imajinasi untuk membayangkan penderitaan yang dialami rakyat Papua. Ia berharap para seniman yang ikut berpameran di Art Jog bisa berkumpul dengan banyak kalangan seniman dan pemerhati seni untuk membahas persoalan itu. “Apa sulitnya membayangkan kenyataan yang dialami rakyat Papua dan bersolidaritas,” kata Naomi.
Pameran seni rupa kontemporer Art Jog kesembilan berlangsung di Jogja National Museum pada 27 Mei-27 Juni 2016. Kali ini temanya adalah Universal Influence untuk melihat pengaruh global terhadap seni rupa. Misalnya kemajuan teknologi, informasi, dan jaringan internet yang mendunia. Tahun ini panitia mengundang 72 seniman yang dianggap punya pengaruh penting. Misalnya seniman itu punya pengaruh besar terhadap seniman generasi berikutnya. Ada pula seniman yang punya pengaruh pada komunitas.
SHINTA MAHARANI