TEMPO.CO, Yogyakarta - Bursa seni rupa termegah di Yogyakarta, Art Jog, yang menggandeng sponsor perusahaan tambang PT Freeport Indonesia, menuai kritik dari kalangan seniman dan pengunjung.
Mereka menyayangkan Art Jog menggunakan sponsor yang dinilai merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia terhadap rakyat Papua.
Kritik datang dari seniman street art Anti-Tank, Andrew Lumban Gaol. Ia menyayangkan keterlibatan seniman, yang umumnya mengaku tak tahu-menahu adanya Freeport, ketika undangan tersebut diterima.
Dalam pameran itu, sebagian seniman memajang karya bertema kemanusiaan, budaya, sosial, dan politik. Ada yang bicara tentang isu minoritas, imperialisme, kapitalisme, dan hutan. Namun, di waktu dan tempat yang sama, mereka bekerja sama dengan Freeport.
Menurut dia, omong kosong bila seniman menjual isu penindasan dan kemanusiaan, tapi tetap diam tertib di Art Jog. Ia berpendapat, Freeport turut bertanggung jawab dalam pembantaian orang-orang Papua, termasuk penahanan aktivis maupun mantan aktivis tanpa alasan yang jelas. “Masih sudi berpesta pora di atas genangan darah saudara sendiri,” kata Andrew, Jumat, 10 Juni 2016.
Pengunjung Art Jog, Idha Saras, menyayangkan Freeport menjadi sponsor Art Jog. Bagi dia, tidak ada alasan untuk masuk dan membeli tiket Art Jog karena tahu sejumlah seniman yang memajang karyanya di acara ini kerap mengangkat dampak perusakan lingkungan, eksploitasi, dan penindasan. “Karya-karya seni yang dipajang itu seakan tidak bernilai lagi bagi saya ketika ada logo Freeport di situ,” tutur Idha.
Di dalam ruang pamer Art Jog, terpajang karya-karya seniman yang selama ini dikenal kritis mengusung tema-tema tentang anti-kapitalisme. Tengoklah karya seniman kawakan yang pernah berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, Djoko Pekik.
Ada juga karya instalasi seniman Entang Wiharso yang bicara soal tanah yang berhubungan dengan sejarah, kekuasaan ekonomi, dan politik. Seniman yang berhimpun di komunitas seni Taring Padi, Mohamad Yusuf atau Ucup, juga memajang karyanya di Art Jog. Taring Padi selama ini juga dikenal sebagai komunitas yang vokal menyuarakan perlawanan terhadap perusahaan tambang perusak lingkungan.
Direktur Artistik Art Jog, Heri Pemad, mengatakan Freeport dilibatkan sebagai sponsor karena pemerintah tidak mendukung bursa pasar seni itu.
Padahal, Art Jog tahun lalu, kata Pemad, tidak menghasilkan untung. Bahkan membuat panitia bangkrut karena tidak ada karya yang terjual. Ia sadar, melibatkan Freeport sebagai sponsor akan menuai kritik dari sejumlah kalangan, di antaranya seniman.
“Saya tempuh jalan terakhir dengan gebrakan menggandeng Freeport untuk mencuri perhatian publik. Sulit sekali mencari sponsor,” ucap Pemad.
Ia mengatakan Freeport menyokong duit Rp 100 juta dan hingga kini belum cair. Sedangkan, dari sponsor utama pendukung Art Jog, yakni Bank Mandiri, hanya menggelontorkan Rp 1 miliar.
Untuk menggelar Art Jog kali ini, panitia perlu ongkos Rp 4 miliar. Duit itu di antaranya digunakan untuk membiayai renovasi gedung JNM. Pemad mengaku harus utang sana-sini untuk bertahan pergelaran itu. Ia bahkan harus merogoh kocek pribadi.
Pameran seni rupa kontemporer itu berlangsung di Jogja National Museum pada 27 Mei-27 Juni 2016. Kali ini temanya “Universal Influence” untuk melihat pengaruh global terhadap seni rupa, misalnya kemajuan teknologi, informasi, dan jaringan Internet yang mendunia.
Tahun ini, panitia mengundang 72 seniman yang dianggap punya pengaruh penting. Misalnya seniman itu punya pengaruh besar terhadap seniman generasi berikutnya. Ada pula seniman yang punya pengaruh terhadap komunitas.
SHINTA MAHARANI