TEMPO.CO, Bandung - Seniman Slamet Rahardjo Djarot menyampaikan orasi budaya tentang kebencanaan di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Selasa, 24 Mei 2016. Dalam pertemuan ilmiah tahunan ahli kebencanaan di Indonesia yang ketiga itu, Slamet mengkritik beberapa tindakan dan kebijakan pemerintah soal penanganan bencana di Indonesia.
Aktor kawakan sekaligus sutradara tersebut membuka orasinya dengan menyampaikan sajak W.S. Rendra berjudul Kalau Langit dan Bumi Bersatu, Bencana dan Keberuntungan Sama Saja. “Bencana yang ingin saya sampaikan adalah sikap manusia yang tidak pandai bersyukur karena telah merusak yang Maha Pencipta pinjamkan,” katanya.
Slamet mengaku marah atas kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia meminta majelis ahli kebencanaan menjelaskan kepada masyarakat mana bencana yang disebabkan alam, pribadi, dan kekuatan tertentu. “Lumpur Lapindo jadi (disebut) lumpur Sidoarjo. Jangan kentuti kami lagi. Itu kelakuan Lapindo, bukan Sidoarjo,” ujar Slamet, yang disambut tepuk tangan hadirin.
Nasib pengungsi juga mengusik Slamet. Dia prihatin ketika pasangan suami-istri sulit tidur bersama selama bertahun-tahun karena berada di tempat pengungsian. Dia pernah menjadikan toko-toko yang ditutup sebagai Rumah Asmara, seperti di Aceh pascatsunami. “Di Aceh laku, orang tidak malu. Di Jawa tidak laku karena malu,” kata pengajar di Institut Kesenian Jakarta berusia 67 tahun itu.
Slamet meminta badan atau lembaga pemerintah yang menangani bencana untuk menjadikan warga sebagai subyek, bukan sekadar obyek. Menurut Slamet, budaya tidak terpisahkan dengan masalah kebencanaan. “Rencana bangunan tanpa peduli lingkungan menghilangkan hak air mengalir. Antar-departemen berbeda pandangan, (Kementerian) Lingkungan Hidup ‘dibunuh’ Pariwisata,” tuturnya.
Slamet mencontohkan Pantai Parangtritis, Yogyakarta, yang menjadi tempat pembuangan kondom. “Sampai dewasa saya tidak pernah berani kencing di Parangtritis. Kita tidak perlu Menteri Lingkungan Hidup kalau budaya dihidupkan kembali,” ucapnya.
ANWAR SISWADI