TEMPO.CO, Bojonegoro - Kesenian tradisional Sandur dari Bojonegoro, Jawa Timur, kini bisa tampil bebas di pelbagai tempat. Padahal, di zaman orde baru, Sandur sempat dilarang. Pada Sabtu, 21 Mei 2016 lalu, misalnya, kesenian ini dipentaskan Grup Sandur Kembang Desa di halaman Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro.
Menurut Kepala Bidang Usaha Seni dan Budaya Disbudpar Bojonegoro Imam Wahyu mengatakan teater tradisional Sandur sempat vakum sekitar 25 tahun, sejak 1965 hingga 1990-an. Namun penyebab vakumnya kesenian rakyat ini belum jelas.
Menurut Imam, di dalam pertunjukan ini ada seni Jaran Kepang yang menyuguhkan demo orang makan kaca, bakar kemenyan, hingga orang kesurupan. ”Ya, orang takut dan tidak berani menampilkan,” ujarnya pada Tempo, Senin, 22 Mei 2016.
Kesenian ini baru tampil setelah Imam bersama para seniman di Bojonegoro menggagas agar seni Sandur bisa ditampilkan kembali. Akhirnya Sandur bisa kembali tampil di acara Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamala Pancasila (BP-7) di Bojonegoro sekitar 1996. “Jadi, saya yang kembali menampilkan,” ujarnya.
Dahulu, kata Imam, kesenian rakyat dengan jumlah pemain sekitar 25 orang ini digelar untuk mengucapkan syukur seusai panen raya. Ceritanya, berisi himbauan seputar masalah sosial dan lingkungan, seperti melarang menebang hutan, dan menyuruh berbuat baik sesama manusia.
Imam mengyebut kesenian sandur sebagai teater tradisional. Tokoh utamanya ada lima orang yaitu Pangsil, Petak, Balong, Cawik, dan Germo. Pangsil menggambarkan orang kaya yang sombong. Petak, Balong, dan Cawik (perempuan) menggambarkan rakyat biasa dan lugu. Sementara Germo bertugas sebagai pengatur lakon. Kelima tokoh utama ini didampingi panjak hore memegang alat musik dan menyanyi.
Penggiat Budaya Bojonegoro Aries Harijanto mengatakan kesenian Sandur sempat vakum beberapa tahun silam. Nasibnya sama dengan kesenian lain, seperti Wayang Potehek, dan lainnya. Menurutnya, pertunjukan kesenian ini menggambarkan kemakmuran karena tampil usai panen raya. “Tentu ini, kesenian rakyat yang perlu dilestarikan,” tegasnya pada Tempo, Senin, 22 Mei 2016.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol Linmas) Kusbiyanto mengatakan, bahwa Bojonegoro kini telah mendapatkan status dengan predikat Human Rights City atau sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM), oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 11 Desember 2015 lalu. Kabupaten ini termasuk 138 kabupaten/kota—dari total 514 kabupaten/kota di Tanah Air yang dinilai ramah HAM. “Tentu kita menjaga predikat itu,” katanya pada Tempo, Senin, 22 Mei 2016.
Soal kesenian tradisional Sandur, lanjut Kusbiyanto, secara tertulis Pemerintah tidak pernah melarang. Hanya saja kesenian Sandur, diakui jarang dipentaskan sejak 1965 hingga 1990-an. Bisa jadi, saat itu orang takut dituding macam-macam, meski hal itu tidak ada. Tentu, Bojonegoro dengan Kota ramah HAM, tetap menghormati produk kesenian rakyat, karena berisi pesan-pesan moral yang baik.”Tetap kita jaga itu,” ujar Kusbiyanto.
SUJATMIKO