TEMPO.CO, Depok - Sastrawan Koesalah Soebagyo Toer sempat menjadi tahanan politik pada era Presiden Soeharto. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Druzhby Naroadov atau Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskow, Rusia, pada 1960-1965, dan pulang ke Indonesia, Koesalah ditahan di Rumah Tahanan Salemba.
Musababnya, Koesalah diduga terlibat pergerakan Partai Komunis Indonesia. "Koesalah adalah sosok yang mempunyai pemikiran cerdas, yang dikirim ke Rusia oleh Presiden Sukarno untuk belajar. Tapi, begitu pulang, dia langsung ditahan seusai peristiwa 1965," kata Mohammad Hairul, 70 tahun, sahabat satu penjara Koesalah di Rumah Tahanan Salemba, saat ditemui di rumah duka, Rabu, 16 Maret 2016.
Mulai dikurung di penjara pada 1978, Koesalah diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, dari 1970 sampai 1978. Hairul berujar, semua pelajar Indonesia yang pulang dari Moskow ditangkap pemerintah lantaran dikira sebagai agen komunis. "Apalagi Rusia adalah negara komunis," ucapnya.
Syahbudin, 76 tahun, yang dulu ikut belajar di Moskow, menuturkan Koesalah aktif mengembangkan kesenian Indonesia saat belajar di Rusia. Bahkan Koesalah mendapat nilai cum laude dan ditabalkan sebagai pelajar terbaik dari Indonesia. "Putra Indonesia yang terbaik di Rusia," katanya.
Selama hidupnya, Koesalah menerjemahkan berbagai buku yang berasal dari luar Indonesia, terutama sastra Rusia. Salah satu yang diimpikan dan belum terwujud adalah mencetak buku karya Leo Tolstoy berjudul Perang dan Damai, yang sudah diterjemahkannya selama empat tahun. "Almarhum ingin sekali melihat buku itu dicetak. Saya membantu mengeditnya," ujarnya.
Koesalah disebut mendapatkan penghargaan sastra dari pemerintah Rusia. Piagam itu kabarnya diteken langsung oleh Presiden Vladimir Putin. "Bulan ini, piagamnya seharusnya diserahkan kepada Koesalah," ucapnya.
Syahbudin menuturkan, setelah pulang ke Indonesia, semua pelajar yang pernah studi di Moskow, termasuk Koesalah, memang menjadi tahanan politik. Padahal Koesalah tidak terlalu banyak terlibat urusan politik. "Banyaknya di kesenian, bukan di politik. Tapi semua ditahan. Saat itu ada 60 orang Indonesia seangkatan dengannya belajar ke Rusia tahun 1960."
IMAM HAMDI