TEMPO.CO, Jakarta - Seniman Betawi, Mandra Naih, merasa prihatin dengan kebudayaan Betawi yang semakin pudar. Untuk mengembalikan kegairahan budaya Betawi, menurut dia, tak bisa lepas dari dukungan pemerintah daerah.
Mandra mengatakan kekhawatiran terkikisnya budaya Betawi sudah terjadi sejak 1990-an. Saat itu banyak kebudayaan Betawi yang mulai tercampur dengan budaya lain. "Saya prihatin karena budaya Betawi sangat tidak ada perhatian, bukan hanya SDM, tapi juga kurangnya peran pemerintah," ucap Mandra dalam diskusi “Tantangan Budaya Betawi Hadapi Arus Liberalisasi Global” di WarunKomando, Tebet, Jakarta Selatan, Ahad, 7 Maret 2016.
Saat ini budaya Betawi, menurut Mandra, menjadi tamu di daerahnya sendiri. Diakui, pada zaman dulu saat ada acara, biasanya disajikan kesenian Betawi. Namun kini budaya Betawi justru semakin kendur. Dalam acara-acara budaya Betawi, biasanya yang diterapkan hanyalah cangkangnya, seperti penggunaan pakaian Betawi dan ondel-ondel.
"Dulu seniman Betawi suka manggung dari hotel ke hotel. Setiap pejabat yang datang disambut dengan kesenian. Kalau sekarang, paling pakaian saja sama disambut ondel-ondel," tutur Mandra.
Baca: Begini Aksi Isyana Sarasvati di Panggung Java Jazz
Menurut Mandra, peran serta pemerintah dalam mengembangkan seni dan budaya merupakan kewajiban. Apalagi pemerintah sebenarnya memiliki anggaran yang disalurkan melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. "Siapa pun yang menjadi kepala daerah Jakarta, kalau dia peduli, budaya Betawi jangan cuma dijadiin bak sampah."
Pemerintah seharusnya memberi ruang kebudayaan untuk berkembang. Salah satunya dengan memberi kesempatan tampil di depan umum. Misalnya untuk menyambut tamu, baik dari lokal dan mancanegara, sehingga bisa dikenal. Dengan diberikan kesempatan seperti ini, diharapkan kesenian dan budaya Betawi tidak punah.
Sejarawan Betawi, JJ Rizal, mengatakan berkembangnya kebudayaan Betawi tak lepas dari dukungan Gubernur DKI Jakarta kesembilan, Ali Sadikin. Ali berperan penting dalam menemukan identitas Betawi. Pada akhir 1970-an, Ali mengajak diskusi para masyarakat untuk mencari tahu apa sebenarnya budaya dan seni Betawi.
Perhatian yang diberikan Ali, menurut Rizal, telah membuat berkembangnya organisasi masyarakat Betawi. "Pada 1922, awalnya ada perkumpulan memakai nama Betawi. Lalu, setelah 1940, enggak ada lagi. Baru setelah 1970-an, ada lagi."
MAWARDAH NUR HANIFIYANI