TEMPO.CO, Jakarta - Produser film Mira Lesmana mengungkapkan keresahannya terhadap sejumlah persoalan di dunia perfilman tanah air. Salah satunya adalah soal penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) yang dinilai tak lagi menggambarkan martabat dunia film sesungguhnya.
"Sekarang FFI tidak lebih sebagai acara televisi. Ada martabat yang hilang," kata Mira dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis 11 Februari 2016 lalu.
Mira adalah pencetus dan penggerak Masyarakat Film Indonesia yang melakukan protes terhadap terpilihnya film Ekskul sebagai film terbaik FFI 2006. Bersama Hanung Bramantyo, Rudy Sudjarwo, dan sineas lainnya, mereka mengembalikan 37 Piala Citra sebagai bentuk protes.
Sejak protes pada 2006 itu, Mira tak pernah lagi mengikutkan film-filmnya dalam kontes pemilihan film terbaik FFI tersebut. Namun pada 2014 Mira berubah sikap. Pemilik Miles Production itu mengikutkan filmnya Sokola Rimba di FFI, yang kemudian menyabet gelar Pemeran Wanita Terfavorit (Prisia Nasution) dan Pemeran Anak-anak Terbaik (Nang Kabau).
Mengapa Mira kembali ikut FFI dan bagaimana pandangannya terhadap FFI sekarang, berikut petikan wawancaranya.
Soal FFI, Anda sempat memboikot, lalu terakhir mengikutkan film Sokola Rimba. Apa yang terjadi?
Yang terjadi adalah Jokowi (Presiden Joko Widodo), ha-ha-ha.... Saya dulu meninggalkan FFI karena persoalan politik. Banyak yang salah melihat. Gerakan MFI (Masyarakat Film Indonesia) bukan gerakan melawan institusi FFI yang ketika itu memilih sebuah film yang tidak patut menang. Persoalannya terkait dengan Undang-Undang Film yang sudah kedaluwarsa dan ketinggalan jauh dari Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran. FFI cuma kebagian sebagai tempat menyatakan sikap menolak Undang-Undang Film itu. Dan kami sudah berhasil mengubah undang-undang itu melalui Mahkamah Konstitusi. Meski untuk urusan sensor kami kalah, Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan undang-undang itu tidak lagi sesuai dengan zaman dan harus diubah. Lalu DPR bergerak menghasilkan undang-undang baru, meskipun hasilnya masih sangat buruk.
Kaitannya dengan Jokowi?
Saya secara terbuka mendukung Jokowi. Dan, ketika Jokowi duduk sebagai kepala pemerintahan, saya harus membantu dan mendukung pemerintah tapi tetap dengan sikap kritis. Sekarang ikut serta terkait dengan pernyataan politik saya mendukung pemerintahan saat ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Berarti bukan karena ada perbaikan-perbaikan dalam tubuh FFI?
(Menghela napas) Perbaikannya masih panjang. Saya tidak pernah ada masalah dengan penjurian yang memang dari dulu diisi orang-orang yang bisa menilai. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Ketika sistem polling yang dipakai, waduh, ini gimana, sih? Kita belum matang sebagai satu masyarakat film.
Di FFI seperti ada kebingungan; sempat ganti desain piala dan sekarang balik lagi. Itu enggak penting. FFI itu adalah ajang apresiasi film Indonesia. Zaman dulu ada excitement-nya dan masyarakat ikut serta. Saya ingat dulu waktu kuliah saya bela-belain ke Bandung ikut pertemuan dengan Teguh Karya dan lain-lain. Sepanjang satu minggu itu pesta film. Tapi sekarang FFI tidak lebih sebagai acara televisi. Bahkan pemberian hadiah bisa terpotong karena ada iklan. Ada martabat yang hilang. Memang ada perbaikan, tapi belum seperti dulu itu. Karena FFI itu adalah patokan yang punya prestige dan wibawa.
Tapi FFI masih menjadi patokan film bermutu?
Betul, kita masih pakai FFI. Termasuk festival film lainnya dan juga film pilihan Tempo. Semua bisa digabungkan. Kita bisa tunjukkan bahwa film-film ini sudah masuk ke dalam sebuah ukuran kualitas tertentu.
Menurut Anda, siapa yang seharusnya lebih berperan meningkatkan mutu , pemerintah atau sineas sendiri?
Ada Apa Dengan Cinta? itu ikut beberapa festival. Ada keterlibatan pemerintah? Zero. Jadi tanpa pemerintah, kalau film memang bagus, tetap bisa berkiprah di kancah internasional. Tapi kita capek karena harus berusaha sendiri. Saat film mulai bangkit pada tahun 2000-an, apakah pemerintah turun tangan? Tidak ada. Justru pemerintah sedang tidur. We can do whatever we want at that time.
Ada contoh menarik di Australia ketika saya diundang melihat lembaga perfilman mereka. Mereka rapi sekali mengatur dan bahkan ada grant untuk subsidi pembuat film demi tumbuhnya industri film. Ternyata hasilnya tidak bagus. Pertama, film yang lahir terbatas pada tema-tema yang sesuai dengan kriteria grant yaitu kebudayaan. Itu tidak berhasil di pasar. Kedua, pembuat film juga saling berantem karena rebutan grant. Mereka terlalu tergantung pada pemerintah. Jadi harus dua-duanya. Pemerintah dan pembuat film harus saling bersinergi. Tidak bisa saling tunjuk.
TITO SIANIPAR