TEMPO.CO, Bandung - Panggung bertepi melengkung itu sesak oleh 28 pemain berkostum serba hitam. Khusus para pemain lelaki, semuanya memakai kain ikat Sunda di kepala. Seorang pemain timpani dan sepasang musikus contrabass di sisi panggung berlantai kayu, mengapit 25 orang lain pemain biola, viola atau biola alto yang bernada rendah, cello, flute, hobo, klarinet, bassoon, horn, terompet, dan tuba.
Selalu tunduk dan mengikuti aba-aba sang konduktor, Robert Nordling, kelompok simfoni orkestra Bandung Philharmonic tersebut memainkan tujuh lagu klasik standar, yakni Canzon Prima A 4 – La Spiritata, Holberg Suite I Prelude, Holberg Suite IV Air, Holberg Suite V Rigaudon, Fantasia in F minor, Symphony No. 41 in C Major Jupiter – Allegro, dan Nimrod from Enigma Variations. Komposisi tembang Melati Suci dan Halo-halo Bandung ikut melengkapi pementasan selama sekitar dua jam itu, Senin malam, 18 Januari 2016, di gedung Padepokan Seni Mayang Sunda, Bandung.
Itu penampilan perdana kelompok Bandung Philharmonic yang disaksikan undangan khusus. Mereka utamanya para donatur dan penyokong grup simfoni orekestra baru tersebut yang juga penggemar musik klasik. Jumlah penontonnya sekitar 200 orang, sesuai kapasitas maksimal tempat. Sukses konser malam itu sekaligus mengabarkan, Bandung kini punya sebuah simfoni orkestra berbasis kota yang menjadi pionir di Indonesia. “Kota besar dunia, seperti New York, Los Angeles, punya philharmonic. Ini menunjukkan Bandung setahap lagi lebih maju dalam kesenian dan budayanya,” kata Airin Efferin, 28 tahun.
Pianis wanita dari grup musik klasik Cascade Trio itu bersama komponis dan pemain musik tiup Fauzie Wiriadisastra, Ronny Gunawan pemain flute, serta Putu Sandra Kusuma pemain biola, mulai merintisnya setahun lalu. Mereka yang hanya menjadi pengurus orkestra, pada medio 2015 membuka pendaftaran pemain. Menurut Fauzie, gagasan membangun kelompok orkestra berawal dari Airin pada 2008 ketika masih kuliah jurusan Piano di Calvin College, Michigan, Amerika Serikat. “Awalnya ingin mengenalkan alat musik orkestra dan memainkannya ke banyak orang terutama anak muda. Bandung Philharmonic untuk menjadi acuan mereka,” kata Fauzie.
Niat itu makin terdorong kuat setelah kemunculan para musikus muda di kelompokpkelompok orkestra amatir di Bandung, juga di tempat-tempat les musik. “Dulu sekitar 10 tahun lalu, cari pemain biola masih susah,” kata Fauzie. Faktor lainnya, pemerintah daerah berencana membangun gedung kesenian baru, dan penggemar musik klasik sudah cukup banyak di Bandung. Menurut mereka, sekarang saatnya membangun simfoni orkestra, walau kondisinya masih menantang. Misalnya para musikus berpengalaman yang masih sedikit. “Infrastruktur gedung yang cocok untuk musik klasik di Bandung juga terbatas,” ujarnya.
Selain membuka pendaftaran pemain yang akan dikontrak selama setahun, Airin mengontak Robert Nordling untuk menjadi konduktor atau direktur musik lewat surat elektronik dan Skype, serta Michael Hall sebagai direktur program pendidikan. “Kenapa harus bule, karena di Indonesia belum ada konduktor sekelas itu,” ujar Airin. Pertimbangan lainnya, Bandung Philharmonic ingin membayangi kesuksesan kelompok orkestra Singapura di Asia Tenggara yang dirintis sejak 1974.
Robert merupakan pendiri musik Bay Chamber Symphony Orchestra di San Fransisco, dan konduktor di sejumlah kelompokorkestra di Amerika Serikat. Lelaki asal New Jersey itu selain menempuh pendidikan musik, juga berguru ke direktur musik Leonard Bernstein, Michael Tilson Thomas, Herbert Blomstedt dan Erich Leinsdorf. Lewat video rekaman ia berujar, saat dunia terlalu menyoroti perbedaan dan perpecahan, ia merasa sangat terhormat menjadi bagian dari Bandung Philharmonic. “Di dalam sebuah orkestra, kita harus menggabungkan perbedaan untuk menciptakan musik yang harmonis.”
Setiba di Bandung, Robert dan Michael, serta concert master Danny Ceri, dan Eric Awuy, menyaring 150 orang peminat. Para musikus itu berasal dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Audisi selama tiga hari, 13-15 Januari 2016, di Gracioso Music Studio lantai 3 Gereja Kristen Indonesia (GKI) Anugerah di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung itu untuk mencari 50 orang pemain tetap. Memakai prosedur blind auditions agar penilaian obyektif, para juri duduk di belakang pemisah ruangan sehingga mereka tidak dapat melihat setiap calon anggota yang diberi kesempatan bergantian main selama 10 menit.
Di sela persiapan konser, Robert Nordling bersedia berbagi ilmu dan pengalamannya lewat program pelatihan dirigen orkestra. Komitmennya berlaku setiap kali ia datang ke Bandung. Kelas gratis itu diikuti pendaftar terpilih, yakni Marisa Sharon Hartanto, Victor Murdowo, dan Fauzie Wiriadisastra. Marisa, 29 tahun, yang menjadi konduktor simfoni orkestra Universitas Indonesia, mengaku banyak mendapat asahan dari Nordling. “Konduktor itu seperti koki, resep dan bahan sama tapi cara membuatnya bisa bikin beda,” katanya kepada Tempo di sela gladi resik, Ahad, 17 Januari 2016.
Salah seorang pemain yang lolos audisi, Fajar Ediyanto, 22 tahun, mengatakan ia tertarik ikut karena masih jarang yang memainkan musik klasik di Indonesia. Pernah ikut di sejumlah kelompok orkestra seperti di Jakarta dan Surabaya, mahasiswa Seni Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengaku kangen bermain musik klasik. “Pernah juga di kampus tapi untuk pendidikan, yang sekarang show 90 persen musik klasik,” katanya.
Setiap pemain mendapat honor Rp 3-4 juta tiap kali ikut konser Bandung Philharmonic. Pengurus nantinya tidak lagi menanggung biaya akomodasi dan transportasi anggota. “Kalau latihan datang terlambat, honor dipotong. Salah nada berkali-kali bisa dipecat,” ujar Airin. Sistem dan manajemen orkestra menurut mereka harus dikelola profesional, misalnya dengan pemain tetap agar kelompok bisa terus berkembang, dan sanksi tegas karena kelalaian seorang pemain bisa berdampak pada semuanya.
Selanjutnya pada 2016 ini, Bandung Philharmonic bersama Robert Nordling dan Michael Hall, membuat dua program konser besar. Bertajuk Heroes pada 23 April 2016 terkait peringatan Konferensi Asia-Afrika, dan Songs of Destiny saat hari jadi Kota Bandung pada 25 September mendatang. Agar bisa bertahan setahun dengan menghelat dua konser besar itu, dana operasional yang diperlukan mencapai Rp 1,3 miliar.
Seperti kelompok serupa di luar negeri, mereka mencari pendanaan ke pihak swasta, pemerintah, tiket pertunjukan, dan masyarakat serta penggemar musik klasik (crowd funding). Donasi mulai dari Rp 1-10 juta per tahun, minimal diberi 2-4 tiket undangan menonton latihan orkestra hingga kesempatan sarapan pagi bersama konduktor. “Penonton musik klasik lumayan banyak, tapi dana kebanyakan dari sponsor,” kata Fauzie.
ANWAR SISWADI