TEMPO.CO, Jakarta -Darah musikus sangat kental mengalir di tubuh Danilla Jelita Putri Riyadi. Ibunya, Ika Ratih Poespa, adalah penyanyi jazz dan produser musik. Adapun pamannya, Dian Pramana Putra, adalah musikus yang sezaman dengan Fariz R.M. dan Deddy Dhukun.
Jika silsilah keluarganya dirunut lebih lanjut, nenek-kakeknya adalah penyanyi seriosa dan keroncong pada era 1960-an. Namun, entah mengapa, Danilla pernah merasa tak cocok menjadi penyanyi.
“Aku merasa suaraku cukup enak buat didengerin sendiri saja, tapi enggak pernah merasa punya suara bagus,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 12 Februari 1990, itu kepada Tempo, 7 Desember 2015. Padahal, mamanya selalu yakin bahwa putrinya adalah penyanyi. Keyakinan itu hadir, “Sejak aku masih kecil,” kata perempuan bermata sipit itu sembari menyelesaikan makan siangnya.
Toh, lewat pergulatan pemikiran dan proses yang panjang, akhirnya Danilla bisa memiliki album Telisik pada Maret tahun lalu. Album ini menjadi titik tolak Danilla untuk lebih memahami pesan sang mama yang disampaikan saat mengenalkan musik kepadanya. Waktu dia kecil, ajaran mamanya lebih berfokus pada pembangunan mental. Hal pertama yang harus ia pikirkan adalah merasakan lagu dan nada serta memahami pesan lagu.
Lambat laun, meski hingga saat ini masih merasa minim pengetahuan tentang teknik menyanyi, Danilla selalu berupaya mengutamakan rasa. Ia mencoba menjadi perantara pesan bagi pendengarnya. Untuk menunjukkan hal itu, tahun depan, Danilla akan merilis album kedua. Tak hanya menyanyi, Danilla juga menciptakan beberapa lagu dan lirik sendiri.
Hadirnya album kedua sangat bermakna bagi Danilla. Setidaknya, hal itu menjadi bukti bahwa ia serius menekuni dunia tarik suara—sesuatu yang melegakan hati keluarga besarnya. Maklum, sejak ia remaja, ibu dan pamannya sudah menyiapkan beberapa lagu bergenre pop untuk ia bawakan. Saat itu Danilla memang tidak menolak, tapi keinginannya untuk menjadi penyanyi belum bulat.
Sempat pula ada seorang produser menawarinya membuat album layaknya Sabrina—penyanyi asal Filipina yang dikenal kerap menyanyikan lagu-lagu yang diaransemen ulang dengan warna jazz dan bossanova. “Rencana album yang ini juga belum tercapai untuk rekaman,” kata Danilla.
Alih-alih serius belajar dan menekuni dunia tarik suara, Danilla kecil banyak menghabiskan waktu dengan bermain game. “Aku itu dari dulu buta notasi, enggak paham nada, lebih suka main game,” ucapnya seraya tertawa. Dia suka bermain game sedari kecil. Awalnya, sang ayah yang mengenalkan kepadanya pelbagai game komputer. Alasan ayahnya, dengan bermain game, Danilla bisa belajar bahasa Inggris. Gayung bersambut, gadis ini kepincut main game sampai dewasa. Ia bisa menghabiskan banyak waktu dengan memelototi layar komputer atau televisi untuk bermain PlayStation dan konsol sejenis.
Tak aneh, bibir Danilla fasih menyebutkan berbagai judul permainan bergenre horor, seperti Fatal Frame, Resident Evil, Silent Hills, dan Obscure. Saking gandrungnya akan game, ia tak malu membocorkan sebuah rahasia: pernah tidak naik kelas saat duduk di kelas I SMA. Musababnya, jumlah hari tak masuk kelas alias absennya dalam setahun setara dengan satu semester. Danilla pasrah, lalu pindah sekolah.
Danilla punya alasan tersendiri kenapa lebih memilih menghabiskan waktu dengan bermain game dibanding bersekolah. Saat itu, ia merasa tak punya teman. Tidak banyak orang yang bisa membuatnya nyaman berada di lingkungan sekolah. Teman yang ia kenal hanya teman bermain game. Belum lagi, waktu kecil, Danilla kerap mendapat panggilan “gajah” karena tubuhnya yang bongsor.
Baru saat kuliah, pada 2008, Danilla masuk ke dunia musik. Ia membentuk band bersama beberapa teman sekampus. Demi kelompok musiknya itu, bungsu dari dua bersaudara ini sempat cuti kuliah selama dua tahun—pilihan yang membuat dia telat lulus dari Jurusan Penyiaran Universitas Persada Indonesia YAI Salemba, Jakarta. Danilla sempat bekerja di beberapa tempat untuk membiayai kuliah lantaran ayahnya tak mau menanggung ongkos tersebut kalau dia terlambat lulus.
Setelah lulus kuliah, Danilla bertemu lagi dengan sosok yang pernah menawarinya membuat album solo. Kali ini, semuanya lebih serius. Danilla dipertemukan dengan dua calon produser yang diperkirakan cocok menangani karakter bermusiknya. Hasilnya, Lafa Pratomo dipilih. Danilla merasa ada kecocokan antara musikalitas yang Lafa tawarkan dan suara altonya. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 13 lagu Lafa ciptakan untuk Danilla. Di antaranya Buaian, Ada di Sana, Terpaut oleh Waktu, dan Senja di Ambang Pilu. Lagu-lagu itulah yang dibungkus dalam album Telisik.
AISHA