TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua sosok manusia, yang satu berbaju merah dan satunya berbaju gelap, berdampingan. Seolah saling berkaca, salah satu sosok itu menjadi bayangan atas sosok yang lain. Bedanya, sosok yang menjadi bayangan bukan memunculkan wajah yang sama, melainkan seluruh tubuhnya dibebat koran dan diikat dengan tali. Keduanya sama-sama meletakkan tangan kanannya di dada. Pewarnaan yang gelap memunculkan sisi kelam dari lukisan grafis itu. Sedangkan gumpalan-gumpalan awan putih berarak di atas kepala mereka.
“Yang menarik, teknik grafisnya sempurna. Dia pakai teknik etsa (etching) dan berwarna,” kata salah satu juri Kompetisi Internasional Trienale Seni Grafis Indonesia 2015, Syahrizal Pahlevi, saat dihubungi Tempo melalui telepon seluler, Ahad, 8 November 2015.
Karya seni grafis yang disanjung Syahrizal itu adalah karya seniman grafis asal India, Jayanta Naskar, yang menjadi pemenang kompetisi Indonesia yang pertama kali digelar berskala internasional. Empat kompetisi sebelumnya diadakan untuk tingkat nasional. Dan karya yang diberi judul Reinvention of Myself itu menyisihkan 29 finalis lain. Selain dari Indonesia dan India, para finalis berasal dari Australia, Argentina, Kanada, Italia, Puerto Rico, Thailand, dan Turki. Karya-karya pemanang yang diumumkan pada 13 Oktober 2015 lalu di Jakarta itu kini tengah dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 6-14 November 2015.
Teknik etsa, menurut Syahrizal, jarang dipakai seniman grafis Indonesia. Teknik itu menggunakan pelat tembaga, baja, atau seng sebagai media klise. Sedangkan klise dibuat dengan larutan nitrat yang mempunyai sifat korosif terhadap tembaga. “Seniman grafis Indonesia kebanyakan masih pakai teknik cukil kayu. Lebih murah, mudah, dan tidak perlu dicetak,” kata Syahrizal, yang juga seorang pegrafis.
Masih bisa dihitung dengan jari yang menggunakan teknik etsa. Begitu juga teknik lithografi, yang biasa digunakan seniman grafis di Bandung. Karena itu, teknik yang dipakai seniman Indonesia kurang variatif. Meskipun dari 355 karya yang dikirim 198 pegrafis yang mendaftar dari 21 negara, hanya seperempatnya yang berasal dari luar negeri. Dengan kata lain, pegrafis Indonesia jauh mendominasi.
“Tapi untuk tampil dalam kompetisi dunia, pegrafis Indonesia belum siap,” kata Syahrizal.
Namun, paling tidak, Indonesia masih patut berbangga hati. Hal itu lantaran seorang pegrafisnya, Muhlis Lugis, mampu duduk di peringkat ketiga. Peringkat kedua dipegang pegrafis asal Thailand, Puritip Suriyapratapan, yang menggunakan teknik litografi untuk karyanya yang berjudul Our Whole Life Searching.
Karya Muhlis itu mengangkat judul Addiction, yang dinilai sudah terlalu umum bagi Syahrizal. Teknik yang dipakai pun cukil kayu. Namun yang menarik adalah gagasannya yang dinilai kreatif. Pada karya berukuran 55 x 72 sentimeter itu, Muchlis menampakkan grafis sosok gemuk yang tengah berbaring dengan satu kaki ditopangkan pada lutut kaki lainnya. Kedua tangannya sibuk memegang gadget. Saking kecanduannya, kepala yang notabene berisi otak untuk berpikir pun diubahnya menjadi sebuah tangan yang tengah memegang gadget pula.
PITO AGUSTIN RUDIANA