TEMPO.CO, Jakarta -Teater Abang None kembali menghadirkan sebuah pertunjukkan sandiwara Betawi. Pementasan ke-9 ini teater yang digawangi Maudy Koesnaedi—None 1993—mengangkat soal kebudayaan Betawi, silat. Dan fokus cerita pada kisah Mirah, salah satu jawara silat perempuan Betawi. Berjudul ‘Jawara, Langgam Hati dari Marunda’ pementasan sandiwara Betawi ini akan dipentaskan selama dua hari pada 24 dan 25 Oktober di Gedung Kesenian Jakarta.
Berangkat dari tak ingin kisah yang dibagun monoton soal pencarian jodoh untuk Mirah, Maudy dan sutradara Adjie Nur Ahmad juga penulis naskah Mima Yusuf mencoba membangun cerita dari sudut pandang lain. Perampokan yang merajalela di batavia akhir abad ke-19 jadi salah satu latarnya. Seorang pengusaha batik peranakan di kemayoran menjadi korban perampokan. Lantas seorang pemuda setempat dituduh sebagai pelakunya. Tak terbukti, si pemuda diminta untuk mencari tahu dan meanngkap perampok yang asli.
Berjalanlah Asni(Lutfi Ardiansyah) , pemuda tersebut untuk mencari siapa perampok sebenarnya. Perjalanannya dari Kemayoran sampai juga di Marunda. Ia bertemu Mirah, gadis desa setempat putri Bang Bodong, jawara terkenal di Marunda. Keduanya jatuh cinta, tapi lewat begitu saja. Asni kembali dipertemukan Mirah saat ia hadir di oertarungan ujungan, pesta rakyat yang sekaligus membuka sayembara untuk menemukan calon suami bagi Mirah.
Tak mudah bagi para pemain teater Abang None untuk bisa luwes menghapal gerakan silat. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki latar belakang bela diri. “Saya benar-benar belajar silat dari nol, tapi karena ada silatnya saya teratrik untuk ikut audisi Jawara,” kata Nurfitri Afrilia, pemeran Mirah saat ditemui di GKJ semalam. Hal serupa diakui oleh Maudy selaku produser, menurut Maudy waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan pementasan tahunan ini hingga delapan bulan, jauh lebih lama dari pentas teater Abang None sebelumnya. Tapi Maudy mengaku, ini memang pementasan paling berat tapi juga paling ia tunggu.
Latihan para pemain dalam menguasai ilmu-ilmu silat dasar tak begitu mengecewakan. Beberapa terlihat luwes dan menguasai jurus, bahkan tak jarang berani melakukan adegan koprol dan backrol tanpa ada matras di atas pentas. Beberapa adegan pukul terlihat nyata. Meski tak jarang ada pula yang terlihat cukup kewalahan, atau gerak yang kurang pas atau tepat sasaran. Ada alur yang terlalu molor sehingga terlihat beberapa pemain yang cukup bingung harus melakukan adegan apa sembari menunggu adegan itu berakhir—selama dia masih harus berdiri di panggung.
Tapi itu hanya hal kecil, dibandingkan dengan unsur humor ala Betawi yang disajikan. Tak jarang penonton banyak bersiul atau ikut merespons perkataan pemain di atas panggung. Balas pantun pun bertebaran, menggelitik. Musik pengiring pun enak didengar, meski kadang berbalapan dengan suara pemain yang entah kurang lantang atau memang musiknya terlalu berisik. Tari dan nyanyi masih menjadi ciri khas pementasan kelompok teater yang berdiri sejak 2009 ini.
Pementasan ini masih bisa disaksikan sampai besok 25 Oktober 2015. Agar bisa ikut mendengar senandung pantun ‘Jawara Hati’ ciptaan Ifa Fachir dan Simhala Avadana (Numata) turut terlibat di dalam hajatan ini.
AISHA SHAIDRA