TEMPO.CO, Den Haag - Film pendek berjudul Kebaya Pengantin karya sutradara Nia Dinata jadi pembuka acara “Indonesian Film Screening" di Filmhuis Den Haag, Belanda, Rabu, 30 September 2015. Film pendek bertema transgender dengan durasi 15 menit ini adalah satu di antara 6 film yang diputar di bioskop Filmhuis Den Haag selama 3 hari berturut-turut.
Nia mengaku senang dan bangga karena film-filmnya bisa diputar dan dinikmati masyarakat Belanda. Terlebih, film-film yang diputar harus melewati seleksi ketat. "Kebetulan, direktur di sini sudah pernah menonton film saya yang berjudul Berbagi Suami, jadi dianggap layak. Nah syarat selanjutnya, pihak Filmhuis meminta produksi saya yang terbaru. Kebetulan, pada 2014, saya memproduksi film Baju Pengantin ini,” ujarnya.
Kebaya Pengantin adalah satu film kompilasi yang diproduksi Nia bersama enam sutradara perempuan dari negara ASEAN, yaitu Thailand, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Brunei. Film ini didanai Girls Womans Fondation pada 2014. Masing-masing sutradara mendapat budget sebesar Rp 120 juta dan film tersebut harus selesai dalam waktu 3 bulan karena akan ditayangkan pada Hari Perempuan Sedunia.
“Dengan masa shooting 2 hari dan 20 kru, film ini akhirnya rampung juga,” kata Nia. Menurut dia, karena masa putarnya sudah lewat satu tahun, film itu sudah bisa dipreteli dan menjadi hak si pembuat film. "Makanya film pendek film ini yang saya tampilkan.”
Menurut Nia, kegiatan diplomasi budaya melalui film ini merupakan bentuk promosi yang paling efektif dan murah dari segi biaya. Dia cukup membayar tiket satu-dua orang. Filmnya juga bisa dibuat dalam bentuk data digital. "Meskipun yang paling bagus adalah film dalam format pita film 35 mili, itu kan cukup berat dan tentu saja mahal. Jadi enggak apa-apa juga kalau dalam bentuk seperti sekarang. Praktis dan murah. Dan yang paling penting bahwa masyarakat Belanda jadi lebih mengenal Indonesia dan perkembangan budayanya," katanya.
Azis Nurwahyudi, atase penerangan sosial dan budaya KBRI, mengatakan, melalui film-film yang diputar di bioskop di Belanda, masyarakat belanda jadi tahu bahwa Indonesia itu sudah berkembang. Termasuk industri filmnya. "Selama ini kan yang terkenang dalam benak masyarakat Belanda adalah Indonesia zaman dulu. Jadi diplomasi budaya lewat seni film ini penting," ujarnya.
Maik, warga Belanda pemenang lomba pidato berbahasa Indonesia, mengatakan, dalam film ini, dia melihat Indonesia sekarang sudah sangat berkembang. Terutama dalam nilai budaya yang berkembang di masyarakatnya. “Kalau di Belanda, kita bisa melakukan dan bicara tentang semua hal karena Belanda sudah sangat bebas. Sedangkan di Indonesia, hal-hal yang dulunya sangat tertutup untuk dibicarakan, sekarang bahkan bisa dilihat dan dipublikasikan melalui film," ujarnya.
Bukan hanya pemutaran film, pada hari ketiga kegiatan ini, Nia juga berdiskusi tentang perkembangan film Indonesia dengan mahasiswa dan para pembuat film muda di Wageningen. Acara yang dihadiri sekitar 100 undangan ini digelar di ruang Theater 1, tepat pukul 18.30 waktu setempat.
Film Kebaya Pengantin berkisah tentang seorang transgender (pria yang menjadi wanita) bernama Sandy (Atiqah Hasiholan), yang berpacaran dengan Farid (Lukman Sardi). Keduanya bekerja di perusahaan penjahit baju pengantin. Dalam waktu dekat, Farid akan menikah dengan seorang wanita di kampung halamannya. Meskipun sedih dan kecewa, toh Sandi dengan rela menjahitkan baju pengantin buat mempelai perempuan. Bahkan Sandy juga yang mendandani pengantin sampai ke pelaminan. Secara emosi, ada pergulatan batin saat Sandy membuat baju kebaya yang seharusnya dipakai Sandy di pelaminan dan menikah dengan Farid.
Di Belanda, Filmhuis adalah pusat keebudayaan dan seni yang ada di beberapa kota di Belanda. Di dalamnya ada kafe, ruang untuk pertunjukan, dan lain-lain. Beberapa ruang teater (bioskop) masing-masing memiliki kapasitas 100 orang. Bioskop nonkomersial hanya memutar film indie atau festival dari seluruh dunia.
YUKE MAYARATIH (DEN HAAG)