TEMPO.CO, Yogyakarta - Seniman Djoko Pekik kembali menyiapkan pameran tunggal lukisan bertema sosial politik. Untuk itu, Pekik sedang menciptakan lukisan raksasa berjudul Devide et Impera Sirkus Adu Badak. Lukisan yang akan dipamerkan pada 2016 itu sedang dalam proses pematangan ide. Tanggal dan tempat karya yang akan dipamerkan sedang disiapkan.
"Saya akan melukis sirkus adu badak," kata Pekik di rumahnya, Sabtu 26 September 2015 pekan lalu. Pekik tinggal di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pekik sudah memberi judul lukisan itu Devide et Impera Sirkus Adu Badak. Visual lukisannya berupa wajah-wajah badak yang saling beradu dalam sirkus. Sirkus Adu Badak, kata dia, menyimbolkan kondisi sosial politik Indonesia. Pekik melihat ada sesuatu yang tidak beres yang menimpa rakyat Indonesia, yakni sesama rakyat saling bertengkar. Pekik mencontohkan bagaimana Presiden Joko Widodo yang berusaha dijegal sana sini.
Dari lukisan itu, Pekik ingin menjelaskan bahwa Indonesia mengalami serangkaian politik adu domba sejak periode Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto hingga era kepemimpinan sekarang ini. Peristiwa 1965 adalah gambaran Indonesia yang mengalami adu domba. Perang saudara terjadi. Adu domba politik juga terjadi sebelum Indonesia merdeka dari penjajah Belanda. “Lewat lukisan itu saya ingin menyadarkan bahaya neo-kolonialisme,” kata Pekik.
Djoko Pekik merupakan seniman yang produktif. Hampir setiap tahun ia menghasilkan karya seni (lukisan maupun patung) bertema sosial politik. Pekik kerap menggunakan citraan binatang buas sebagai simbol dalam karyanya. Pada 2014, Djoko Pekik, memamerkan lukisan berjudul Go to Hell Crocodile di bursa pasar seni rupa Art Jog di Taman Budaya Yogyakarta.
Dalam lukisan itu, Pekik menciptakan citra seekor buaya yang melingkari ceruk galian tambang. Manusia bersenjatakan bambu runcing siap menghujamkan senjata itu ke tubuh buaya. Karya ini mengingatkan pada perusahaan tambang asing, yang menguras perut bumi Indonesia di Papua dan Nusa Tenggara. Lukisan ini dibanderol seharga Rp 6 miliar.
Terakhir, Pekik menggelar pameran tunggalnya di Galeri Nasional pada Oktober 2013. Pameran tunggal berjudul "Jaman Edan Kesurupan" itu melukiskan situasi saat ini ketika orang gila pada kekuasaan dan harta. Saking rakusnya, mereka sampai kesurupan. Beberapa karya yang Pekik pamerkan ketika itu adalah patung Berburu Pekik, Berburu Celeng, dan Memanah Matahari. Kini, patung bertema celeng itu disimpan di bengkel kerja miliknya di belakang rumah. Pekik juga menciptakan lukisan berjudul Berburu Pekik dan Berburu Celeng.
Selama ini Pekik memang identik dengan lukisan Berburu Celeng. Patung Berburu Celeng sendiri merupakan semacam serial dari lukisan Berburu Celeng. Lukisan tahun 1998 itu pernah menggemparkan jagat seni rupa Indonesia karena harganya semiliar rupiah.
Djoko Pekik yang lahir 2 Februari 1938 di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah merupakan seniman Sanggar Bumi Tarung yang ditangkap polisi pada 8 November 1965. Dia bebas dari tahanan pada 1972. Sejak awal, Bumi Tarung menghasilkan seniman berideologi kiri dengan karya seni bercorak realis. Pekik ditangkap terkait pemberangusan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra.
Seniman-seniman Bumi Tarung waktu itu memang kebanyakan berhimpun ke Lekra. Meski dekat secara ideologis, secara struktural, Lekra tidak terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Joko Pekik adalah salahsatu seniman Lekra yang tidak bergabung ke dalam PKI.
SHINTA MAHARANI