TEMPO.CO, Balikpapan - Baru pertama kali bermain dalam film layar lebar, Puteri Indonesia 2013, Whulandary Herman, langsung mendapat peran menantang. Dipasangkan dengan Maxime Bouttier, dalam film berjudul Bidadari Terakhir itu Whulandary berperan sebagai seorang pelacur jalanan.
Film yang dibuat berdasarkan novel karya Agnes Davonar berjudul serupa itu bercerita tentang percintaan seorang remaja tanggung bernama Rasya (Maxima Bouttier) dan Eva, seorang pelacur jalanan. Rasya, yang masih duduk di bangku SMA, jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada perempuan cantik dengan latar belakang sosial ekonomi berbeda itu.
“Kisah percintaan ini sudah populer di media Kaskus. Saya hanya mencoba menulis ulang ceritanya dalam bentuk novel,” kata Agnes di Balikpapan, Selasa, 8 September 2015. Kisah nyata ini sendiri berakhir tragis. Eva meninggal karena penyakit kelamin.
Sebagai Eva, Whulandary tampil sebagai gadis yang mandiri dengan gaya bicara yang blakblakan. Whulandari menilai film ini punya keistimewaan dan tantangan tersendiri dibanding film lain yang mengangkat tema prostitusi.
Menurut dia, ada pesan moral tersendiri dalam kisah Eva yang terperosok ke limbah hitam akibat impitan faktor ekonomi keluarga.
“Pesan moralnya adalah manusia tidak bisa meraih semua impian yang diinginkannya. Terkadang kita harus menerima kenyataan pahit yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan,” ujarnya.
Bidadari Terakhir, yang mulai ditayangkan di bioskop pada 10 September 2015, berlatar Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Sutradara film ini, Awi Suryadi, menyatakan sengaja menonjolkan keindahan Balikpapan serta keberagaman budaya khas Kalimantan.
“Setidaknya 80 persen pengambilan gambarnya di Balikpapan. Sisanya kami ambil di Bogor dan Samarinda,” tuturnya. Selama tiga minggu proses pengambilan gambar, Awi mewanti-wanti seluruh pemainnya agar bisa melepaskan diri dari logat bahasa Jakarta.
Strategi ini, menurut Awi, bertujuan agar film Bidadari Terakhir bisa diterima seluruh penggemar film di Indonesia dengan tidak meninggalkan asal-usulnya yang berlatar Balikpapan. “Kami pakai bahasa Indonesia yang baku. Sehingga tidak ada bahasa terlalu daerah, tapi juga tidak ada logat Jakarta, lu, lu, gua, gua,” ujarnya.
SG WIBISONO