TEMPO.CO , Surakarta: Tangan kecil Davin Mahatma mengetukkan cempala dengan berirama ke kotak. Para niyaga pun segera menabuh gamelan. Davin mencabut gunungan dari batang pisang, lalu menggerakkannya mendekati belencong.
Bayangan dramatis gunungan terbentuk di kelir. Suluknya melengking. Kaki mungilnya menjepit cempala baja berukuran kecil, mengetuk-ngetukkannya di kotak, melakukan keprakan berbunyi ding-ding-ding-ding mengiringi gerak wayang-wayang yang ia mainkan. Selama 20 menit, Davin, dalang berusia 6 tahun asal Yogyakarta, memainkan lakon Si Jabang Tetuka.
Setelah Davin, empat dalang asal Yogyakarta lainnya yang sama-sama masih bocah tampil ke panggung: Ferdiawan Warminsyah, Ngo Damai Azizul Hakim, Rifky Adi Wijaya, dan Tahta Harimurti Proboatmojo. Mereka masing-masing memainkan lakon Petruk Takon Bopo, Aji Narantaka, Anoman Duta, dan Kikis Turanggana.
Selain mereka, ada tiga dalang bocah lagi yang berasal dari Yogyakarta. Ketiganya adalah Brajang Pamadi, Gymna Cahyo Nugroho, dan Erlangga Betrant Pashandaru. Mereka adalah generasi dalang bocah pertama Yogyakarta yang berpartisipasi dalam Temu Dalang Bocah Nusantara (TDBN). Acara tersebut sudah digelar untuk keenam kalinya di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta.
Kehadiran Davin dan teman-temannya kian memperlihatkan keragaman jenis pementasan wayang Nusantara. Pemimpin Sanggar Seni Wira Budaya Yogyakarta, Parjaya, menerangkan bahwa setiap daerah memiliki corak yang berbeda dalam pementasan wayang. Perbedaan itu meliputi ukuran dan bentuk wayang, iringan gamelan yang digunakan, retorika bahasa, dan artikulasi ucapan.
Sebelum mempelajari gaya pewayangan yang lain, para dalang cilik ini diminta untuk belajar gaya Yogyakarta terlebih dulu. “Kalau sudah bisa Yogya, baru mendalami gaya yang lain,” ucap Tahta saat ditemui seusai pentas.
Ia kemudian menjelaskan perbedaan antara pementasan gaya Solo dan Yogyakarta. Tahta memperagakan adegan pertarungan gaya Yogya yang lebih halus daripada Solo dan dialog gaya Solo yang lebih agresif daripada Yogya.
Meski memiliki gaya yang berbeda, Tahta mengakui bahwa setiap pertunjukan wayang sejatinya memiliki tujuan yang sama, yakni dapat menjadi tuntunan, selain tontonan. “Kalau belajar pewayangan kan juga belajar budaya. Nanti juga sopan santun juga tahu. Kalau sama orang tua juga jadi saling menghormati. Enggak mementingkan diri sendiri,” ucap Tahta, yang telah 70 kali berpentas dalam tiga tahun terakhir.
NAIMATUR R